REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) secara tegas menentang rencana kenaikan gaji seluruh kepala darah dan memandang kebijakan itu jika direalisasikan merupakan kebijakan merugikan rakyat.
"Secara tegas kami menolak rencana itu," kata Usman selaku Kordinator Fitra Riau lewat pesan elektroniknya, Senin (4/3).
Dia menjelaskan, dalam acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Ke-9 Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) 20 Februari, pemerintah berencana menaikkan gaji para kepala daerah.
"Hal ini menanggapi permintaan Ketua APKASI. Atas rencana tersebut, Seknas FITRA bersama 15 anggota FITRA di daerah menyatakan menolak atas rencana kenaikan gaji Kepala Daerah tersebut," katanya.
Hal itu menurut Usman merupakan kebijakan yang salah kaprah mengingat alasannya pun tidak logis dengan menyebut bahwa penghasilan kepala daerah minim.
Selama ini, kata dia, publik dipersepsikan bahwa penghasilan kepala daerah kecil dan itu semua juga merupakan pembohongan publik.
Menurutnya, publik selama hanya mengetahui gaji pokok dan tunjangan jabatan saja yang sebesar Rp 8,4 juta (gaji pokok Rp 3 juta tambah tunjangan jabatan Rp 5,4 juta) untuk Gubernur dan Rp 5,8 juta (gaji pokok Rp 2,1 juta tambah tunjangan jabatan Rp 3,7 juta) untuk wali kota/ bupati.
Padahal, lanjut dia, sebenarnya kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan pajak dan retribusi daerah minimal yang besarnya minimal 6 kali gaji tambah tunjangan dan maksimal 10 kali gaji plus tunjangan, tergantung dari pajak dan retribusi daerah bersangkutan.
Hal itu katanya sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 69 tahun 2010. Oleh karena itu, untuk daerah yang miskin pajak dan reribusi daerahnya, minimal seorang gubernur akan memperoleh penghasilan bulanan yang masuk kekantong sebelum dipotong pajak Rp 58,8 juta dan bupati serta wali kota Rp 41,1 juta.
Secara resmi, demikian Usman, Provinsi Jateng merilis gaji gubernurnya sebesar Rp 79,1 juta dan Gubernur Jatim Rp 79,8 juta, saat menanggapi rilis FITRA terkait pengahasilan Kepala Daerah akhir tahun lalu.
"Penghasilan tersebut belum termasuk biaya penunjang operasional yang besarnya juga tergantung Pendapatan Asli Daerah (PAD)," katanya.
Biaya penunjang operasional ini kata dia lagi, ada yang bersifat lumpsum dan dikelola oleh Bendahara. Untuk DKI Jakarta misalnya, lanjut dia, biaya penunjang operasional yang diberikan setiap triwulannya sebesar Rp 4,4 miliar, di mana gubernur Rp 2,4 miliar, Wagub Rp 1 miliar dan yang dikelola Bendahara Rp 900 juta.
"Artinya, pernyataan Presiden gaji kepala daerah tidak layak jika dibandingkan dengan tanggung jawab dan kinerjanya adalah tidak benar," demikian Usman.