REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI akhirnya menetapkan Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi pengganti Mahfud MD di Mahkamah Konstitusi (MK). Arief unggul dibanding dua rekannya melalui pemilihan dengan sistem voting.
Dari total 54 orang anggota dan pimpinan Komisi III, hak suara digunakan oleh 48 orang. Sementara enam orang anggota tidak hadir dalam rangkaian seleksi uji kelaikan hingga penetapan yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB tersebut.
Arief unggul dengan perolehan suara dominan, yakni 42 suara. Sementara kompetitornya, Sugianto mendapatkan lima suara dan Djafar Albram hanya memperoleh satu suara.
"Arief Hidayat di urutan satu dengan 42 suara. Dengan demikian ditetapkan Arief Hidayat sebagai hakim MK berdasarkan suara terbanyak," kata Ketua Komisi III dari Fraksi Demokrat, I Gede Pasek Suardika, Senin (4/3) malam.
Pasek mengatakan bukan tanpa alasan anggota Komisi III DPR RI memilih Arie sebagai pengganti Mahfud. Menurutnya, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan karakternya yang menonjol, Arief layak terpilih.
"Dia berani soal perkawinan sejenis dan HAM. Keberanian itu yang diharapkan mengisi posisi di MK nanti," ujar Pasek.
Sebelumnya, saat anggota Komisi III DPR RI menanyakan pendapat Arief mengenai perkawinan sejenis, dia dengan tegas mengatakan sistem tersebut tidak bisa diterapkan di Indonesia.
"Dalam konteks di Amerika silakan, dalam konteks di Indonesia tidak bisa. Undang-undang yang memberikan kebebasan sangat liberal itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Menurut prinsip agama, kearifan lokal tidak memungkinkan kawin sesama jenis," jelas Arief.
Arief Hidayat merupakan guru besar dan ketua program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Pria kelahiran 3 Februari 1956 itu hingga saat ini aktif sebagai ahli hukum tata negara, hukum dan politik, hukum dan perundang-undangan, hukum lingkungan, dan hukum perikanan.
Ayah dua orang anak itu sering dihadirkan sebagai saksi ahli dalam berbagai persidangan dan pembahasan hukum dan perundang-undangan. Pada uji kelaikan di Komisi III, ia mengajukan makalah berjudul 'Prinsip Ultra Perita Dalam Putusan MK Terkait Pengujian UU Terhadap UUD Negara RI Tahun 1945'.