Jumat 08 Mar 2013 14:37 WIB

Ilmuwan London Ciptakan Robot untuk Juri Peradilan

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Mansyur Faqih
Robot   (Ilustrasi)
Foto: Reuters
Robot (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, ESSEX -- Teknologi robotik dan mekanis dewasa ini berhasil mengikis fungsi tertentu dari tugas manusia. Para peneliti dan ilmuwan terus berlomba memanfaatkan teknologi robotik untuk meringkas suatu pekerjaan. 

Bahkan, sebagian robot mulai menggantikan beberapa peran manusia secara total karena lebih praktis, cepat dan telaten. Belakangan teknologi robot juga mulai menjajah seni dan hiburan. 

Tapi, bagaimana jika ada robot di bidang penegakan hukum? Robot hakim atau jaksa contohnya. Baru-baru ini sekelompok peneliti dari London, Inggris berhasil membuat robot yang bisa berperan sebagai seorang juri untuk sebuah persidangan.

Para ilmuwan ini berkolaborasi dengan ahli hukum membuat robot humanoid yang bisa mendeteksi suatu kebohongan. Robot ini terprogram dengan tegas, dan bersifat galak bagi mereka yang memberikan kesaksian palsu dalam suatu persidangan.

Wall Strert Journal mengatakan, robot ini bernama ALICE atau Artificial Linguistic Internet Computer Entity. Robot tersebut akan menjawab kemalasan masyarakat di negara-negara hukum anglosakson untuk menjadi seorang juri dalam suatu persidangan.

Dalam sebuah simulasi, ilmuwan menyusun transkip persidangan dengan menghadirkan para terdakwa dan saksi. Robot mendengarkan pengakuan dari peserta peradilan. Alice bereaksi jika seseorang membuat pernyataan palsu. 

Dikatakan akurasi mendeteksi kebohongan mencapai 53 persen. Anggota tim ilmuwan, Massimo Poesio mengatakan hasil tersebut tidak buruk. Apalagi sepertiga pernyataan memang dipalsukan. 

"Sistem kami menangkap pernyataan yang benar dengan baik dibanding sebuah penipuan," Kata Poesio. 

Alice menggolongkan frasa-frasa seperti 'saya tidak tahu' atau 'saya kira' adalah pemikiran kognitif yang berindikasi penipuan. 

Anggota tim ilmuwan lainnya, Tommaso Fornaciari mengusulkan, tujuan pembuatan robot ini hanya mengakuratkan mesin pendeteksi kebohongan. Psikolog untuk kepolisian ini mengatakan sulit menjadikan Alice sebagai juri yang memutuskan nasib terdakwa.

"Jujur, saya tidak berpikir ke arah sana," kata dia. 

Pakar Hukum dari Universitas of Pittsburgh, Kevin Ashley mengapresiasi temuan Alice dengan deteksi penipuannya. Tapi kata dia, kondisi peradilan sesungguhnya jauh lebih kompkeks ketimbang dapat memisahkan pernyataan atau kesaksina palsu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement