REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, oleh prajurit Armed 15/76 Tarik Martapura Kodam II/Sriwijaya mendapat perhatian BJ Habibie. Presiden Republik Indonesia ketiga itu menilai konflik Polri dan TNI hanya bisa diselesaikan lewat penataan sistem pemerintahan.
Menurut Habibie, seharusnya institusi kepolisian harus berada di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hal itu terkait dengan posisi TNI yang berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Kebijakan itu harus diambil untuk mengembalikan pemisahan fungsi keamanan dan pertahanan.
"Apa yang terjadi dengan Polri saat ini merupakan penyimpangan agenda reformasi. Seharusnya Polri di bawah Mendagri (menteri dalam negeri), TNI di bawah koordinasi Menteri Pertahanan," kata Habibie dalam ‘Sarasehan Pembangunan Nasional, Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan’ di Jakarta, Jumat (8/3).
Habibie menilai, pengalihan fungsi koordinasi itu sangat penting untuk membuat Polri bisa lebih diatur. Dengan koordinasi di bawah Kemendagri, maka pengaturan kepolisian jauh lebih mudah daripada langsung di bawah koordinasi presiden.
Dikonfirmasi apakah hal itu berarti Polri tidak bertanggung jawab kepada presiden, Habibie menegaskan, "Ya!".
Habibie menganalisis, bentrokan yang melibatkan anggota Polri dan TNI di OKU bukan merupakan cerminan institusi. Melainkan melibatkan kepentingan lebih luas. "Jadi, ini bukan merupakan konflik TNI-Polri," kata mantan Menteri Riset dan Tekhnolog (Menristek) itu.