REPUBLIKA.CO.ID,Setiap tahun, Malaysia membayar uang sewa atas Sabah—wilayah seluas 73.711 kilometer persegi—kepada keluarga Sultan Sulu sebesar 1.500 dolar AS (Rp 14.250.000). Itu setara dengan gaji pegawai negeri rendahan di Kuala Lumpur. “Kelak, Sabah akan kembali menjadi milik kami sepenuhnya,” ujar Hassan Al Caluang, wali kota Jolo (baca: holo) dalam wawancara singkat dengan Republika di rumahnya tahun 1996.
Al Caluang tidak sedang berhalusinasi. Sebagai orang Tausug—salah satu etnis di Pulau Mindanao, Filipina—Al Caluang mewariskan kisah keemasan Kesultanan Sulu dan cerita kepahlawanan Tausug sebagai loyalis dan tulang punggung kerajaan maritim itu. “Sabah disewakan ke pengusaha Inggris, dan tidak akan pernah menjadi milik Malaysia,” ujar Al Caluang lagi, seraya menambahkan dirinya pernah membaca surat perjanjian sewa-menyewa wilayah di Pulau Kalimantan itu.
Namun, Al Caluang tidak mamaparkan upaya apa yang telah dan akan dilakukan keluarga Sultan Sulu untuk mendapatkan Sabah. Ia juga tidak banyak bercerita soal eksistensi keluarga Sultan Sulu dan pengikutnya.
Di luar kediaman Al Caluang yang sederhana di sudut Jolo, orang-orang Filipina tidak banyak tahu soal Sabah, klaim Sultan Sulu, dan eksistensi Kesultanan Sulu. Yang mereka tahu tentang masa lalu Filipina bagian selatan adalah wilayah itu pernah terpecah-pecah ke dalam belasan kesultanan gurem.
Filipina, sebagai negara penerus Kesultanan Sulu, hanya sekali berupaya mendapatkan Sabah, yaitu ketika Presiden Ferdinand Marcos merancang Operasi Merdeka. Presiden-presiden Filipina setelah Marcos lebih suka mengabaikan isu Sabah atau menempuh jalan diplomasi.
Ed Lingao, dalam History Catches Up with Sabah, menulis muncul dan tenggelam isu Sabah sangat tergantung suasana hati orang nomor satu di Manila dan Kuala Lumpur. Saat ini, misalnya, Presiden Benigno S Aquino III tidak tertarik ‘mengurus’ Sabah dan menyebut sengketa kepemilikan itu sebagai masalah yang tertidur.
Aquino boleh saja mengabaikan isu Sabah, tapi pers Filipina menempatkan manuver politik Sultan Jamalul D Kiram—yang mengirim 300 pengikutnya ke Lahad Datu, sebuah kota di Sabah –menjadi berita utama. Manila Times dan Philippines Daily Inquierer, dua koran terkemuka di Manila, seolah memprovokasi pubik dengan mengangkat pernyataan Sultan Jamalul Kiram III sebagai headline.
Malaysia menempuh jalur diplomatik dengan meminta Manila memerintahkan Sultan Jamalul Kiram III menarik pengikutnya. Kuala Lumpur juga mengancam tidak akan tunduk pada tuntutan keluarga Sultan Sulu untuk berunding.
Sultan Jamalul D Kiram, yang menduduki takhta Kesultanan Sulu di era Ferdinand Marcos, merespons sikap keras Kuala Lumpur dengan mengatakan, “Mengapa kami harus meninggalkan rumah kami. Kenyataannya, Malaysia membayar uang sewa Sabah kepada kami.”