Selasa 12 Mar 2013 01:12 WIB
Konflik Kesultanan Sulu

Kontroversi Malaysia Soal Sabah

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Tentara Malaysia bergerak dengan konvoi di jalanan dekat Desa Tanduo, Rabu (6/3/2013)
Foto: AP PHOTO
Tentara Malaysia bergerak dengan konvoi di jalanan dekat Desa Tanduo, Rabu (6/3/2013)

REPUBLIKA.CO.ID,Tidak ada bukti Kesultanan Sulu berusaha memisahkan diri dari Filipina dengan berbagai cara; perundingan dan perjuangan bersenjata. Di sisi lain, negeri-negeri rumpun Melayu di sekelilingnya masih dalam cengkeraman penjajahan Inggris.

Muncul asumsi, Kesultanan Sulu tidak ada lagi. Yang ada adalah Republik Filipina. Sebagai negara yang diwariskan wilayah Kesultanan Sulu, Filipina menuntut pengembalikan Sabah sejak pekan pertama kemerdekaannya.

Upaya itu menemui jalan buntu karena dua hal. Pertama, naskah perjanjian antara Sultan Sulu dengan Von Overbeck dan Dent sarat kontroversi. Perjanjian ditulis dalam aksara Arab, tapi berbahasa Tausug. Sebelum ditandatangani, surat perjanjian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Kata kunci pada surat perjanjian itu adalah ‘padjak’. Dalam bahasa Tausug, kata ini berarti sewa, gadai, dan hipotek. Namun, ketika perjanjian itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ‘padjak’ menjadi ‘cede’ (menyerahkan atau memberikan).

Jika berjalan-jalan ke Jolo, Anda dengan mudah menemukan kata ‘padjak’ tertera di pegadaian, atau di rumah-rumah yang sedang dijajakan untuk disewakan kepada pendatang. Kata ‘padjak’ juga masih digunakan orang Tausug di Sabah, Palawan, dan Tawi Tawi.

Kedua, akibat kesalahan penerjemahan itu, surat perjanjian sama sekali tidak mencantumkan batas waktu. Von Overbeck dan Dent seolah berhak mengelola Sabah sampai kapan pun mereka suka dan membayar uang ‘sewa’ seperti disebutkan dalam perjanjian.

Masalah lainnya, ketika Sergio Osmeña—presiden pertama Filipina pascapemberian kemerdekaan oleh AS—menuntut pengembalian Sabah, Manila terbentur pada fakta bahwa keluarga Kesultanan Sulu masih menikmati uang sewa. Pemerintah Inggris, sebagai pewaris kedaulatan Sabah, mengabaikan pendekatan Manila.

Presiden Filipina berikutnya, Manuel Roxas, Elpidio Quirino, Ramon Magsaysay, dan Carlos P Garcia, kesulitan melanjutkan upaya ini. Di sisi lain, keluarga Sultan Sulu—yang relatif tidak lagi memiliki eksistensi politik—masih terus menikmati uang sewa.

Perubahan terjadi pada September 1962. Sultan Muhammad Esmail E Kiram I, pewaris takhta Kesultanan Sulu, menyerahkan masalah wilayah Sabah kepada Pemerintah Filipina. Penyerahan ini secara efektif memberikan kewenangan penuh kepada Presiden Diosdado Macapagal untuk memperjuangkan klaim Manila atas Sabah di mahkamah internasional.

Manila yakin akan menang di mahkamah internasional. Inggris menyadari posisinya sangat lemah dan menolak ajakan Manila. Inggris juga tetap membayar uang sewa atas Sabah kepada keluarga Sultan Sulu, bukan ke Pemerintah Filipina.

Keluarga Sultan Sulu tidak pernah menyerahkan uang sewa yang diterimanya kepada Pemerintah Filipina, tapi menikmatinya sendiri. Terdapat kesan, keluarga Sultan Sulu menyerahkan persoalan klaim atas Sabah kepada Filipina, tapi enggan memberikan uang sewanya.

Keluarga Sultan Sulu seakan setengah hati menyerahkan masalah Sabah kepada Pemerintah Filipina. Pewaris takhta Kesultanan Sulu melihat pembayaran uang sewa kepada dirinya sebagai pengakuan atas eksistensi politik mereka.

Namun, ada hal lain yang juga harus dipahami. Keluarga Kesultanan Sulu tetap memelihara semangat tidak pernah sudi bergabung dengan Republik Filipina. Bagi mereka, Filipina adalah bentukan penjajah Spanyol yang berpotensi mengancam eksitensi Islam sebagai agama resmi Kesultanan Sulu. Bagi orang Tausug, Sabah adalah satu-satunya wilayah Kesultanan Sulu yang masih berdaulat.

Setelah pembentukan Federasi Malaysia, dengan Sabah menjadi bagiannya, Kuala Lumpur tetap membayar uang sewa kepada Keluarga Sultan Sulu. Malaysia tidak punya cara lain, selain mengikuti politik tuan penjajahnya karena sangat diuntungkan.

Setiap tahun, Kedubes Malaysia di Manila mengirim 77.442,36 peso, atau 1.500 dolar AS, atau Rp 14.250.000 (jika kurs 1 dolar = Rp 9.500), sama dengan gaji pegawai negeri rendahan di Kuala Lumpur. Luas Sabah adalah 73.711 kilometer persegi. Jadi, harga sewa Sabah per kilometer persegi yang dibayarkan Malaysia ke keluarga Sultan Sabah adalah 0,02 dolar AS, atau Rp 193 rupiah. Sedangkan, gross domestic product Malaysia di Sabah diperkirakan mencapai 100 miliar dolar AS per tahun.

Pengusaha properti di belahan dunia mana pun akan sangat iri dengan Malaysia, yang hanya membayar sedemikian kecil untuk ‘merasa’ berdaulat di atas tanah sewa

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement