REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR meminta pemerintah memprioritaskan promosi kesehatan pada masyarakat disamping kualitas pelayanan kesehatan.
“Saat ini dua hal tersebut harusnya lebih fokus dilakukan, pemerintah harus segera atasi ledakan jumlah pasien di RS-RS,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi di Jakarta, Senin (11/3).
Zuber menilai penolakan terhadap pasien di banyak RS seperti kasus belakangan ini, merupakan gunung es dari berbagai permasalahan yang mendera sektor kesehatan.
“Kita sudah menghadapi fenomena ‘bencana’ ledakan pasien, mirip KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit, padahal belum ada KLB,” keluhnya.
Kasus penolakan akan terus terjadi selama kebutuhan tempat tidur (khususnya kelas III atau bagi peserta Jamkesmas/Da) belum dapat dipenuhi. Hal ini seharusnya sudah diantisipasi sebelumnya, kasus di Jakarta menunjukkan, jumlah tempat tidur kelas III tidak mampu menampung lonjakan pasien rawat inap peserta Jamkesda setiap harinya.
“Padahal kita bicara Jakarta, ini wilayah yang dianggap paling lengkap fasilitas kesehatannya,” tutur Zuber.
Menurut data Dinkes DKI, Jumlah tempat tidur kelas III saat ini mencapai 4.052 unit di RS milik pemerintah di Jakarta, sedangkan sekitar 2.700 unit disediakan oleh swasta yang bekerjasama dengan Pemprov DKI. Bila melihat hal tersebut, seharusnya antisipasi dilakukan dengan membuka lebih banyak kelas III, “Misalnya dengan menggunakan kelas II,” tambah Zuber.
Seperti diketahui, lonjakan pasien baik rawat inap maupun rawat jalan meningkat di banyak Puskesmas dan RS mencapai 30 persen, bahkan 60 persen untuk pasien rawat jalan. Hal ini merupakan efek berlakunya Kartu Jaminan Sehat bagi siapapun warga DKI yang ingin menggunakan layanan kesehatan secara gratis.
“Dengan membuka kelas II, setidaknya mampu untuk menutup yang 30 persen peningkatan rawat inap tersebut, namun ingat ini belum meng-cover bila ada KLB penyakit, misalnya DBD,” cetus Zuber.
Karena itu, Ia meminta pemerintah pusat dan daerah untuk lebih meningkatkan alokasi anggaran dan progresifkan program untuk promosi kesehatan. “Tidak ada cara lain, kita harus menghindari bencana lebih lanjut dengan promosi kesehatan, pola hidup bersih dan sehat di masyarakat, berdasarkan pengalaman hal ini lebih murah biayanya ketimbang menanggung jaminan kesehatan bagi mereka yang sakit,” urainya.
Apalagi pada 2014, tidak hanya Jakarta yang menerapkan jaminan kesehatan secara universal, namun juga seluruh daerah di tanah air.
“Artinya kita harus cepat berakrobat mempersiapkan jaminan kesehatan yang skalanya jauh lebih besar, bagaimana penahapan atau sistem rujukan bekerja dalam layanan kesehatan, dan yang terpenting bagaimana tugas pemerintah mencegah lebih banyak orang menjadi sakit.”