REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mekanisme pemilihan ketua umum baru Partai Demokrat dalam kongres luar biasa (KLB) menciptakan friksi baru di internal. Pengurus daerah berpandangan mekanisme pemilihan harus dengan cara demokratis alias terbuka.
Namun sejumlah elite pusat Demokrat justru berpendapat mekanisme aklamasi sebagai jalan terbaik. "Ya kalau sepakat (aklamasi) memang kenapa? Itu kan demokrasi juga," kata anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Amir Syamsuddin kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/3).
Menurutnya, mekanisme aklamasi tak perlu dipersoalkan. Sepanjang para pemilik suara sepakat. Meski pun ia juga mengaku belum tahu mekanisme apa yang akan dilakukan saat KLB.
Amir menegaskan, majelis tinggi memiliki kuasa memutuskan kebijakan strategis partai. Dalam konteks ini untuk menentukan mekanisme pemilihan ketua umum sekaligus menjaring nama calon ketua umum di KLB.
"Majelis tinggi punya posisi strategis. Kebijakan partai ke depan berkiblat ke majelis tinggi tanpa mengabaikan AD/ART partai," kata Amir.
Ketua Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf mengatakan hal senada. Menurutnya tidak ada perbedaan yang esensial antara mekanisme aklamasi dengan mekanisme terbuka.
"Proses aklamasi dan terbuka sama saja," ujar Nurhayati.
Nurhayati menolak bila cara aklamasi disebut sebagai kebijakan otoriter. Menurutnya aklamasi dimungkinkan sepanjang kandidat ketua umum telah mengerucut pada satu nama.
"Kalau misalnya calon yang ada hampir disetujui, tidak perlu voting. Ini (aklamasi) juga bagian proses demokrasi," katanya.