REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Neneng Sri Wahyuni menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/3). Majelis hakim memutus Neneng dengan hukuman pidana selama enam tahun penjara dan denda sebesar Rp 300 juta subsidair enam bulan.
"Menjatuhkan oleh karenanya terdakwa Neneng Sri Wahyuni selama enam tahun dan denda sebesar Rp 300 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama enam bulan," kata salah satu majelis hakim, Ugo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/3).
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang dibacakan pada 5 Februari 2013 lalu. JPU menuntut Neneng Sri Wahyuni dengan pidana penjara selama tujuh tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider selama enam bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri dari Ugo, Pangeran Napitupulu, Made Hendra, Joko Subagyo dan diketuai Tati Hadianti ini menyatakan Neneng terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara sendiri maupun bersama-sama sesuai dalam dakwaan pertama yaitu pasal 2 ayat (1) juncto pasal 18 UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Majelis hukum juga mewajibkan terdakwa Neneng untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 800 juta selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan ketentuan setelah putusan tersebut tidak dibayar maka harta terdakwa akan disita dan dilelang. Apabila tidak mencukupi, maka dipidana selama satu tahun.
Hal-hal yang dianggap memberatkan putusan terhadap Neneng karena dianggap tidak mendukung dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, mengabaikan panggilan penyidik KPK dan tidak segera menyerahkan diri saat masuk menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan KPK. Sedangkan hal-hal yang meringankan, Neneng masih memiliki tanggungan anak-anak yang masih kecil dan belum pernah dihukum.
Namun karena persidangan berjalan tanpa kehadiran terdakwa atau in absentia, maka sesuai dengan pasal 38 ayat 3 UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka majelis hakim memerintahkan kepada JPU KPK untuk mengumumkan putusan tersebut pada papan pengadilan dan kantor perwakilan daerah. Selain itu, putusan tersebut juga harus diberitahukan kepada terdakwa dan kuasa hukumnya.
Terdakwa dapat menerima putusan, mengajukan banding atau pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim, dihitung selama tujuh hari setelah menerima pemberitahuan putusan. Maka itu JPU harus mencatat tanggal pemberitahuan putusan kepada terdakwa dan kuasa hukumnya.
"Jika tidak memberi sikap, maka dianggap menerima putusan," kata majelis hakim.
Majelis hakim pun menanyakan kepada pihak JPU KPK mengenai sikap putusan tersebut. "Kami menyatakan pikir-pikir," kata salah satu JPU KPK, I Kadek Wiradana kepada majelis hakim.