REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahad, 17 Maret 2013, sepak bola Indonesia memiliki agenda penting. Kongres Luar Biasa (KLB) yang bakal digelar di Jakarta, diharapkan bisa menjadi titik awal mengakhiri era kegelapan sepak bola Tanah Air.
Jutaan masyarakat Indonesia sudah muak dengan segala konflik yang terjadi. Dua tahun ke belakang, para petinggi sepak bola Indonesia terlalu disibukkan dengan perselisihan. Sehingga tak ada prestasi membanggakan yang diraih.
Ini bukanlah kali pertama kongres digelar ditengah ancaman sanksi FIFA. Sebelumnya, atau tepatnya pada 10 Desember 2012, kongres pun dilaksanakan. Hanya saja, kala itu kongres terbelah dua. PSSI menggelar kongres di Palangkaraya, sedangkan KPSI di Jakarta.
Beruntung, FIFA masih memberikan dispensasi kepada Indonesia. Otoritas sepak bola tertinggi dunia tersebut memperpanjang tenggat waktu kepada Indonesia untuk menemukan solusi permasalahan hingga 20 Maret 2013, atau ketika Komite Eksekutif FIFA menggelar rapat di Zurich, Swiss. Pada rapat itu, FIFA akan menentukan nasib sepak bola Indonesia.
Bagi pengamat sepak bola Tommy Welly, KLB 17 Maret 2013 adalah kesempatan terakhir bagi sepak bola Indonesia untuk mengakhiri segala kekisruhan. Dualisme liga dan dualisme federasi menjadi hal yang harus segera ditemukan solusinya.
Maret ini memang menjadi kesempatan terakhir dari FIFA. Presiden FIFA Joseph Blatter, telah mengultimatum bahwa 20 Maret 2013 adalah keputusan final FIFA. Jika tak ada solusi berarti, sanksi sudah pasti akan dijatuhkan FIFA.
Karena itu, Tommy Welly berharap semua pihak menyetop segala upaya yang ingin mengganggu apalagi menggagalkan kelancaran dan keberhasilan KLB. Karena, hanya itulah satu-satunya jalan atau solusi agar sepak bola Indonesia terhindar dari sanksi.
"Hari minggu nanti (KLB) adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi," kata Tommy Welly dalam acara Diskusi Sepak Bola 2013 di Senayan, Jakarta, Kamis (14/3).
Pria yang akrab disapa Towel ini berharap ada perubahan besar yang berawal dari KLB 17 Maret. Tentunya, perubahan ke arah yang baik juga menjadi harapan seluruh masyarakat Indonesia.
Bagaimanapun, kata Towel, dalam dua tahun terakhir, insan sepak bola Indonesia mengalami kerugian dan pelajaran yang sangat mahal dengan adanya dualisme federasi dan dualisme kompetisi.
Konflik yang terjadi akhirnya berbuntut kepada buruknya prestasi timnas Indonesia. Contohnya adalah kekalahan memalukan 0-10 atas Bahrain pada ajang kualifikasi Piala Dunia. Terbaru, Indonesia harus tersingkir di putaran grup saat berpartisipasi di Piala AFF 2012.
"Mari memulai bab baru dan mengakhiri era kegelapan sepak bola Indonesia," tambahnya.
Setelah kongres, diharapkan ada titik terang atas sepak bola Indonesia. Semua pihak harus membangun kembali sepak bola Indonesia yang saat ini sudah menjadi puing-puing reruntuhan.
Kongres 17 Maret 2013 membahas tiga poin penting, yakni unifikasi liga, revisi statuta, dan pengembalian empat exco. Menurut Towel, unifikasi liga adalah hal yang terpenting sekaligus tersulit untum bisa ditemukan solusinya.
Unifikasi liga bukan hal yang sederhana dan serta merta otomatis bisa dilakukan. Butuh proses untuk menyusun mekanisme, kerangka acuan, pra syarat ataupun kriteria-kriteria yang memungkinkan penyatuan itu bisa dilakukan dengan mulus.
"Tapi tentu kita harus optimistis semua bisa terlaksana dengan baik demi kebaikan sepak bola Indonesia," harpa Towel.
Harapan akan adanya titik terang melalui KLB nanti juga dilontarkan anggota Komisi X DPR RI, Dedi Gumelar. Bahkan, Dedi mengatakan masyarakat Indonesia berhak marah kepada elite-elite sepak bola jika Indonesia sampai terkena sanksi.
"Sepak bola milik rakyat. Karena itu, rakyat berhak marah apabila masalah juga tidak terselesaikan," ucap Dedi.
Pria yang akrab disapa Mi'ing itu berharap semua insan sepak bola kembali memegang prinsip berdirinya PSSI ketika pertama kali didirikan Ir. Soeratin Sosrosoegondo pada tahun 1930.
PSSI kala itu didirikan Soeratin sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa. "Kalau prinsip itu dipahami, harusnya tidak terjadi perpecahan seperti sekarang ini," kata Dedi Gumelar.