Jumat 15 Mar 2013 16:59 WIB

BI Kaji Izin 10 Lembaga Pengelola Informasi Kredit Swasta

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nidia Zuraya
 Gedung Bank Indonesia
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Gedung Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) akhirnya secara resmi membuka izin untuk Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan (LPIP) Swasta di Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan financial inclusion melalui membuka kesempatan kepada masyarakat yang belum tersentuh perbankan, khususnya kredit.

BI telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/PBI/ 2013. "Sejauh ini, sudah ada delapan perusahaan internasional dan dua perusahaan lokal yang menyatakan minat secara informal menjadi LPIP," kata Asisten Direktur Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan BI, Sani Eka, dalam disukusi di Gedung BI Jakarta, Jumat (15/3). LPIP Swasta ini nantinya akan mengelola data yang lebih kompleks dan lebih besar.

Beberapa perusahaan LPIP asing itu, kata Sani, bahkan sudah ada yang mengurus proses pendirian Perusahaan Terbuka (PT). Pada tahapan awal, BI akan memberikan izin kepada 10 perusahaan ini. Setelah lima tahun, maka perusahaan ini akan dikonsolidasi menjadi lima hingga enam LPIP saja. LPIP Swasta ini akan beroperasional secara efektif pada 2016. Setidaknya perusahaan LPIP ini membutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun hingga dua tahun untuk pendirian jaringan.

Dalam pemberian proses perizinan, BI menilai izin prinsip dan kesiapan dari LPIP dalam menjalankan kegiatan usahanya. LPIP Swasta harus berbentuk PT. Modal disetornya minimal Rp 50 miliar.

Untuk kelanjutan PBI ini, BI akan mengeluarkan Surat Edaran (SE). Selama ini, informasi perkreditan debitur dikelola secara terbatas. Sedangkan industri keuangan membutuhkan data lebih banyak dan lebih luas. Menurut Sani, LPIP Swasta ini akan menggali informasi tentang masyarakat melalui menghimpun data dari perusahaan utilitas publik. Misalnya bank, serta non bank seperti Perusahaan Listrik Negara dan Telekomunikasi Indonesia (Telkom).

Data debitur berikutnya akan dijual ke pelaku industri keuangan, terutama bank-bank. Ini akan digunakan oleh bank untuk menyalurkan kredit. Negara (PLN), Telekomunikasi Indonesia, dan lainnya. Dia mencontohkan, pedagang bakso yang belum terakses perbankan rutin membayar rekening listrik. Selain itu, data debitur yang sudah punya pinjaman dari sejumlah bank.

Data-data debitur tersebut, lanjut Sani, akan dijual ke industri keuangan terutama bank. Tujuannya adalah menjadi pertimbangan bank dalam salurkan kredit. Ia memisalkan pelaku usaha bakso yang rajin melakukan pembayaran listrik, maka akan mendapat penilaian positif dari bank dan berpeluang memperoleh kredit.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement