REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Pagi itu, Selasa 17 Maret 1981, kota Aachen, Barat Jerman, tampak seperti biasa. Suasana memang masih lengang. Belum ada aktivitas mencolok dari warga setempat. Namun, di sebuah apartemen tiba-tiba terdengar lima tembakan.
Seorang perempuan paruh baya, tergeletak bersimbah darah dengan lima timah panas bersarang di tubuhnya. Satu peluru di leher, satu di kening, dua peluru tepat menghujam pundaknya, sedangkan satu peluru lagi bersarang di perutnya.
Ia adalah Bannan binti Ali Ath-Thanthawi. Kematiannya bukan tanpa alasan. Rezim lalim, Hafidz al-Asad, penguasa Suriah kala itu disebut-sebut menjadi dalang utama. Operasi pembunuhan itu pun telah direncanakan dengan seksama. Target utama sebenarnya ialah sang suami.
Namun, para pembunuh itu membabi buta. Sebelum kejadian itu, lima anggota intelijen Suriah tengah mengepung rumah tetangga Bannan. Mereka mendesak sang jiran untuk menelepon Bannan, seakan-akan hendak bertandang ke rumahnya.
“Begitu Bannan membuka pintu, kesadisan itu terjadi,”demikian kenang Syaikh Isham Al-Athar saat wawancara di sebuah stasiun televisi. Penuturannya itu mengisahkan tragedi pembunuhan isterinya tercinta itu oleh rezim Hafidz.
Hanya satu alasan kuat, kenapa putri dari Syekh Ali Ath-Thanthawi itu menjadi target operasi intelijen Suriah kala itu. Perempuan yang lahir di Damaskus, Suriah itu bersama ayah dan suaminya gigih menentang kelaliman Sang Pemimpin yang bermazhab Syiah tersebut.
Syaikh Isham Al-Athar seorang ulama, juru dakwah sekaligus pemikir Islam dan mantan pengawas umum kelompok Ikhwanul Muslimin. Sedangkan sang ayah, seorang ulama besar lulusan al-Azhar Mesir, sastrawan serta pendakwah. (bersambung)