REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN---Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr Pedastaren Tarigan berpendapat tidak rasional menjadikan santet sebagai delik, sebab perbuatan itu merupakan fenomena kekuatan gaib dan akan sulit dibuktikan di ranah hukum pidana.
"Santet akan sulit dibuktikan dan begitu pula oleh aparat penegak hukum yang menangani perkaranya," kata Pedastaren menanggapi rancangan kitab undang-undang hukum pidana (KHUP) yang diajukan pemerintah dan di dalamnya tercantum delik santet dengan istilah "kekuatan gaib".
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah yang telah memasukkan delik santet ke rancangan KUHP hendaknya mengkaji kembali dan mempertimbangkan secara arif dan bijaksana. "Kita tidak ingin dengan diberlakukannya delik santet melalui KUHP, dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari atau banyak warga masyarakat yang jadi korban fitnah, lalu menjadi terdakwa dan diadili," ucap Pedastaren.
Dia mengakui, praktik santet sering terjadi di lingkungan masyarakat, namun untuk membuktikan siapa pelaku maupun korbannya sulit dibuktikan.
Seorang penegak hukum, kata Pedastaren, tidak bisa menjadikan sebagai alat bukti pengakuan seorang pelaku supranatural (dukun) bahwa si B sakit dan ditemukan jarum di dalam perutnya akibat disantet atau diguna-guna oleh si A.
Pasal 293 ayat (1) rancangan KUHP antara lain berbunyi, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun."