REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Djohermansyah Djohan, mengatakan, bupati dan wali kota yang jumlahnya sekitar 500-an di seluruh Indonesia sebaiknya dipilih oleh DPRD. Pemilukada secara langsung membutuhkan banyak uang, sehingga banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Saat ini, terang Djohermansyah, sudah terdapat 291 kepala daerah yang terkena proses hukum. Kalau pemilukada secara langsung terus dilakukan, maka jumlah kepala daerah yang terkena proses hukum bisa memecah rekor pada angka 300 hingga 400 orang. “ini menunjukkan pemilukada secara langsung tidak efektif,” katanya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (21/3).
Nanti, ujarnya, saat masyarakat sudah siap, berpendidikan tinggi, dan kesejahteraan tercapai, baru demokrasi secara langsung dapat digunakan. Pemilukada sudah dilakukan berkali-kali namun tidak ada perbaikan perilaku politik. “Masyarakat jika tidak diberi uang, tidak akan memilih,” ujarnya.
Dia mencontohkan, di sebuah daerah yang dilakukan pemilukada, terdapat sebuah rumah yang dipasangi spanduk oleh pemiliknya yang berbunyi ‘di sini menerima serangan fajar’. Ini menunjukkan bahwa politik uang semakin membudaya dengan adanya pemilukada langsung.
Masyarakat, kata dia, membutuhkan uang. Sedangkan calon kepala daerah membutuhkan suara. Maka politik transaksional semakin menyebar luas. Sudah saatnya bupati dan walikota dipilih oleh DPRD untuk mengurangi terjadinya politik transaksional. Karena itu, pengawasan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD juga harus diawasi oleh KPK. Ini perlu dilakukan untuk mencegah calon kepala daerah menyuap anggota DPRD yang akan memilihnya.