REPUBLIKA.CO.ID,Inggris adalah negara superpower. Saat berperang dengan Prancis, Inggris sengaja tidak melakukan koalisi dengan negara-negara lainnya. Apalagi Inggris mendapat perlindungan dari armada lautnya yang sangat kuat, seperti yang diucapkan Admiral Jervis. "Saya tidak menjamin bahwa Prancis tidak akan datang menyerang kita, tetapi saya menjamin bahwa mereka tidak akan datang lewat laut."
Inggris tetap dapat menyuplai dan mengadakan perlawanan di darat secara global selama lebih dari satu dekade. Bala tentara Inggris juga menyokong pemberontak di Spanyol melawan Prancis dalam perang Peninsular pada 1808-1814.
Dilindungi oleh kondisi alam yang menguntungkan serta dibantu dengan pergerakan gerilyawan yang sangat aktif, pasukan Anglo-Portugis ini sukses mengganggu pasukan Prancis selama beberapa tahun. Puncaknya pada 1815, tentara Inggris memainkan peran penting dalam mengalahkan pasukan Napoleon pada pertempuran Waterloo.
Begitu kuatnya Prancis, membuat sejumlah negara, terutama Eropa, membuat kesepakatan koalisi. Tujuannya, menghancurkan Prancis. Sebab, jika tidak dihancurkan, Prancis yang dikomandani Napoleon Bonaparte justru akan menyerang negara-negara tersebut. Napoleon menjadi monster perang.
Usaha untuk menghancurkan Republik Prancis ini dimulai pada 1792, ketika Austria, Kerajaan Sardinia, Kerajaan Napoli, Prusia, Spanyol, dan Kerajaan Britania Raya membentuk koalisi pertama. Dengan ditetapkan undang-undang Prancis yang baru, termasuk wajib militer secara serentak (levée en masse), pembaruan sistem militer dan perang secara total, memberikan kontribusi bagi kemenangan Prancis atas koalisi pertama.
Perang berakhir ketika Austria dituntut oleh Napoleon menerima syarat-syarat dalam perjanjian Campo Formio. Kerajaan Britania Raya menjadi satu-satunya kerajaan yang tersisa dari koalisi pertama yang memerangi Prancis sampai tahun 1797.
Koalisi kedua dibentuk pada 1798, yang terdiri atas beberapa kerajaan: Austria, Britania Raya, Kerajaan Napoli, Kesultanan Utsmaniyah, Negara Kepausan, Portugal, dan Rusia. Napoleon Bonaparte, sang arsitek utama kemenangan Prancis pada tahun lalu atas koalisi pertama, melancarkan aksi militer ke Mesir. Beberapa ilmuwan diikutsertakan dalam ekspedisi ini, termasuk Jean Baptiste Joseph Fourier dan Jean-Francois Champollion.