REPUBLIKA.CO.ID,Napoleon kembali ke Prancis pada 23 Agustus 1799. Kemudian, ia mengambil alih pemerintahan pada 9 November 1799 dalam sebuah kudeta bernama18 Brumaire. Napoleon menata ulang sistem militer dan membuat pasukan cadangan untuk mendukung aksi militer di sekitar Rhine dan Italia.
Di semua pertempuran, Prancis lebih unggul. Di Italia, Napoleon memenangi pertempuran dengan Austria dalam Marengo pada 1800. Akan tetapi, pertempuran yang menentukan terjadi di Rhein, wilayah Hohenlinden, pada 1800. Dengan kalahnya Austria ini, kekuatan koalisi kedua hancur. Namun, Britania Raya tetap kuat dan memberi pengaruh yang besar kepada negara-negara lainnya agar dapat mengalahkan Prancis.
Napoleon menyadari hal ini, tanpa kekalahan Inggris atau perjanjian damai dengannya, ia tidak akan pernah mencapai perdamaian secara penuh di benua Eropa. Napoleon berencana menyerang Inggris dan menyusun 180.000 tentara di Boulogne. Namun, untuk invasinya, ia membutuhkan keunggulan laut—atau paling tidak dapat memukul mundur Britania dari Selat Inggris.
Rencana untuk menarik perhatian Britania dengan mengganggu jajahan mereka di India barat gagal. Ketika armada Prancis-Spanyol di bawah Laksamana Villeneuve mundur setelah pertempuran Cape Finisterre pada 22 Juli 1805, angkatan laut kerajaan memblokade Villeneuve di Cádiz.
Napoleon tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menantang Britania di laut. Ia membatalkan semua rencananya untuk menyerang Kepulauan Britania dan membalikkan perhatiannya ke musuhnya di Benua Eropa. Tentara Prancis meninggalkan Boulogne dan bergerak menuju Austria.
Pada April 1805, Inggris dan Rusia menandatangani kesepakatan (disebut koalisi ketiga) dengan tujuan mengusir Prancis dari Belanda dan Swiss. Austria ikut serta dalam aliansi ini setelah pencaplokan wilayah Genoa dan penobatan Napoleon sebagai raja Italia pada 17 Maret 1805.