Senin 25 Mar 2013 16:53 WIB

Godaan Semu Popularitas

  Seorang jamaah haji berdoa di puncak Jabal Rahmah menjelang puncak ibadah haji wukuf di padang Arafah, Makkah,Rabu (24/10) dini hari. (Hassan Ammar/AP)
Seorang jamaah haji berdoa di puncak Jabal Rahmah menjelang puncak ibadah haji wukuf di padang Arafah, Makkah,Rabu (24/10) dini hari. (Hassan Ammar/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Hidup terkenal, dipuji banyak orang, dan selalu menjadi sorotan publik, selintas tampak mengasyikkan. Orang kerap mencari bahkan tak jarang berebut panggung ketenaran.

Entah agar masyarakat mengenal sebagai seorang politikus, artis, atau tak terkecuali tokoh agama. Popularitas terkadang pula berkelindan dengan gelimang harta.

   

Popularitas serupa yang konon, kata Syekh Dr Umar bin Abdullah al-Muqbil dalam makalahnya berjudul asy-Syuhrah Bain at-Thalab wa al-Harab,  sangat dihindari oleh generasi salaf.

Mereka sadar betul akan dampak dari berburu popularitas. Semakin keterkenalan menerpa seseorang, saat itu pula beban di hatinya kian bertambah. Ini tentunya akan pula berpotensi mengikis keikhlasan di hatinya.

   

Godaan semu popularitas ini tentunya patut diwaspadai siapapun. Terutama kalangan para ulama dan cendekiawan Muslim. Cobaan itu pula yang bisa meninabobokkan siapapun. Beragam jenis orang menghampiri. Apapun motifnya.

   

Namun, kala bunga tak lagi semerbak, ribuan kumbang itu bergegas meninggalkan. Tak ada perkawanan abadi yang dibangun atas dasar popularitas. Nyaris berpijak di atas kepentingan.

Aji mumpung. “Tak ada ketulusan bagi hamba yang mencintai popularitas,”kata Ibrahim bin Adham, seorang alim dari generasi salaf.

   

Adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Tokoh alim pencetus Mazhab Hanbali itu seperti dikisahkan, adalah figur yang selalu berupaya menghindari popularitas. Ia bahkan mengatakan sengaja tinggal di pedalaman Makkah agar orang tak mengetahui keberadaanya.

   

Dalam titik nadir, ia bahkan berseloroh mengharapkan kematian entah pagi atau sore hari. “Saya benar-benar diuji dengan popularitas,” ucap Imam Ahmad. Namun demikian, ini bukan berarti ia mangkir dari tugas dakwahnya untuk tetap berbagi ilmu dan melakukan amar makruf nahi mungkar. 

   

Berburu ketenaran, bukan tindakan terpuji. Ini adalah bentuk mencari gemerlap dunia yang dikecam oleh agama. Ini seperti yang ditegaskan di surah Thaha ayat ke-131.

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya.”

   

Hadis riwayat Muslim, Nasai, dan Abu Dawud adalah sinyal tegas yang melarang seorang Muslim mengejar popularitas semata dalam hidupnya. Riwayat itu mengisahkan ada tiga golongan yang tengah menjalani perhitungan di akhirat. Ketiga-tiganya bukan orang sembarangan, melainkan mereka adalah orang-orang yang berprestasi.

   

Yang pertama adalah mujahid yang mati syahid dalam peperangan, kedua orang alim yang belajar dan mengajarkan Alquran, sedangkan yang ketiga ialah hartawan yang menyedekahkan separuh hartanya.

Ironisnya, justru amalan ketiga orang tersebut tertolak. Apa gerangan penyebabnya, tak lain ialah popularitas. Ketiganya pun akhirnya diputuskan sebagai penghuni neraka. Mereka beramal hanya untuk dibilang jago dan hebat.

   

Syekh Umar menegaskan, tenggelam memburu ketenaran bisa mengoyak akidah seseorang. Segala aktivitas yang ia lakukan, tak lagi bertujuan untuk menggapai ridha-Nya. Justru, kegiatan yang ia laksanakan malah dipergunakan sebagai kendaraan untuk naik daun.

Jika ia menyadari perbuatannya itu, maka sudah pasti tidak akan lagi berambisi akan popularitas. Ingin terkenal, sejatinya akan menghilangkan nilai dari sebuah tindakan. “Tak ada satupun ulama yang aku kunjungi kecuali melarang berburu popularitas,”ujar tokoh salaf terkemuka, Sufyan as-Tsauri.

   

Seorang sufi tersohor, Abu Hamzah al-Baghdadi pernah bertutur perihal tanda-tanda seorang sufi yang orisinil yaitu ia berada dalam kemiskinan setelah bergelimang harta, hidup dalam kesederhanaan setelah jaya, dan menyepi usai dimanjakan ketenaran.

   

Dan ciri-ciri sufi palsu adalah lawan dari ketiga tanda di atas, yakni miskin lalu kaya, mulia setelah hina, dan terkenal setelah terkucil.

Meski demikian, ancaman atas perburuan popularitas tak lantas menghalangi seseorang untuk berbuat bagi umat. Tetaplah beraktivitas dan beramal. “Tapi ingat tetap jaga hati selalu hanya untuk-Nya,” tulis Syekh Umar mengingatkan. 

n

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement