REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketegangan antara TNI dan Polri yang terjadi belakangan ini dinilai merupakan imbas dari ketidakjelasan pemisahan antara kedua instansi keamanan negara itu pada masa awal reformasi. Pandangan itu dilontarkan pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Ketidakjelasan itu membawa implikasi hingga hari ini. Pemerintah tidak pernah menangani pemisahan ini secara jelas maka tidak heran kalau ada masalah antara kedua 'aktor' aparat keamanan ini," kata Jaleswari di Jakarta, Senin (25/3).
Menurut Jaleswari, pada saat pemerintah melakukan pemisahan antara TNI dan Polri, pemerintah tidak terlalu memperhitungkan dampak dari hal tersebut.
Pemisahan TNI dan Polri, lanjutnya, hanya sekadar memisahkan tanggung jawab kedua institusi itu sehingga kedua institusi mendapatkan tugas masing-masing.
"Seperti yang kita tahu, TNI itu bertanggung jawab terhadap pertahanan negara dari ancaman luar, sedangkan polisi bertanggung jawab atas keamanan negara dari dalam," ujarnya.
Hanya saja, kata dia, yang tidak diantisipasi oleh pemerintah dari awal adalah ikut berubahnya ruang kerja antara TNI dan Polri.
Beberapa peristiwa yang dimaksud Jaleswari, antara lain perang antara Yonif Linud 100 melawan Brimob di Binjai, Sumatera Utara, bentrokan antara anggota Kostrad dan Brimob di Gorontalo, bentrokan antara personel TNI dan Polri di perbatasan RI -Timor Leste di Atambua, NTT, lalu pembakaran kantor polisi di OKU, dan terakhir aksi penembakan narapidana oleh belasan oknum yang diduga dari Kopassus di Lapas Cebongan, Sleman di Yogyakarta.
Ia menyebut kesulitan pembagian tugas antara TNI dan Polri diduga akibat masalah struktur penempatan TNI dan Polri yang tidak tepat, dimana TNI secara struktur ditempatkan di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan Polri ditempatkan langsung di bawah Presiden.