REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Yudi Latif menilai tidak tepat bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi ketua umum Partai Demokrat. "Itu tidak tepat, tidak dia (SBY) lah. Kalau pun harus muncul, kandidatnya di luar SBY," kata Yudi di Jakarta, Jumat (29/3).
Harusnya, lanjut Yudi, SBY belajar dari sejarah. Loyalitas kepada partai harus berhenti ketika seseorang menduduki jabatan kenegaraan. Apalagi bila jabatan itu sekelas presiden. Presiden Soekarno telah memberikan contoh. Sebagai tokoh besar Partai Nasional Indonesia (PNI), ia tak lagi menjadi pemimpin partai begitu ditunjuk menjadi presiden. Presiden Soeharto juga begitu yang tidak menjadi Ketua Partai Golkar.
Sebetulnya, ungkap Yudi, SBY sudah memulai secara benar. Dengan tidak menjabat sebagai pimpinan partai meski ia yang merintis Demokrat. "Tapi kok dia ujung-unjungnya bukan berujung khusnul khatimah. Bukan berujung dengan baik memberikan keteladanan, malah jadi kacau," ujarnya.
Menurut Yudi harusnya SBY harus mempercayai mekanisme organisasi. Termasuk juga tidak khawatir kalau ketua umum terpilih bisa mengancam kepentingan pribadinya. Apalagi partai harus ditegakan dalam suatu konsep modern. Jadi siapa pun yang terpilih melalui harus bisa diterima, sejalan dengan mekanisme demokrasi yang dijalankan di Indonesia.
"Namanya Partai Demokrat, kalau demokrasi internalnya tidak jalan bagaimana bisa menjadi Demokrat," tutur dia.