REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia tetap akan menuntut pembubaran BPH Migas. Meski ditolak MK, Presiden KSPMI Faisal Yusra menegaskan, akan meminta pembubaran BPH Migas melalui revisi UU Migas. "Ini rancu. Dua-duanya (BP Migas dan BPH Migas) produk UU Nomor 22/2002 yang menghancurkan migas Indonesia. Kenapa satu dibubarkan satu tidak," ujarnya, Jumat (29/3).
Lagipula, tambah dia, BPH Migas tak pernah optimal bekerja. Dari sisi teknis, misalnya, lembaga ini hanya membuang-buang anggaran negara. Buktinya, fungsinya sebagai alat kontrol tak pernah berjalan. BPH Migas juga tak pernah membuat infrastruktur pengendalian.
Secara managerial pembuatan BPH Migas juga tak tepat. Idealnya, tak ada satu lembaga yang mengendalikan lembaga lain. Alhasil ini membuat BPH Migas tak efisien. "Tanggung jawab pembagian kuota BBM saja selalu failed. Tapi semua orang menyalahkan Pertamina bukan mereka. Dari sini saja, kita bisa lihat mereka tak perlu," jelasnya.
Sementara itu, anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim menilai keputusan MK tepat. Masalahnya sektor hilir lebih kompleks dibanding hulu. "Kalau hulu minyak habis, ya sudah. Tapi hilir tak bisa begitu. Kebutuhan masyarakat tetap harus dipenuhi," katanya
Putusan ini pun, harus menjadi cambuk pemerintah memperkuat BPH Migas. Karena, meski bertugas mengatur hilir, tak seluruh usaha bisnis hulu diawasi BPH Migas. Terkadang tugas BPH Migas berbeturan dengan lembaga negara lainnya seperti departemen tertentu di kementerian. "Pengaturan masih abu-abu. Ini harus diperjelas," katanya.