REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ide konversi bank konvensional milik pemerintah menjadi bank syariah untuk meningkatkan market share perbankan syariah dinilai baik. Namun dalam praktiknya tidak mudah. Ada beberapa risiko yang harus diperhatikan sebelum melakukan konversi tersebut.
Bendahara Dewan Syariah Nasional Mejelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Muhammad Nadratuzzaman Hosen, mengatakan risiko pertama terjadi pada para nasabah bank yang akan dikonversi. "Nasabah yang anti syariah akan lari dan menarik dananya," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (1/4).
Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi konversi tidak membuat mereka dirugikan. Misalnya dalam produk tabungan dan deposito, harus ada jaminan bahwa setelah konversi bagi hasil yang mereka terima tidak akan turun. "Kalau turun, mereka pasti lari," kata Nadratuzzaman.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua The Ibrahim Hosen Institute ini juga menyoroti kemungkinan direksi dan karyawan bank konvensional milik pemerintah menolak usulan konversi.
Sebab, mereka terbiasa bertransaksi dengan sistem konvensional sehingga akan kesulitan bila harus diubah menggunakan prinsip syariah.
Dia berujar peningkatan market share sesuai dengan bank mana yang akan dikonversi. Menurutnya bank yang cocok dikonversi adalah bank yang mengutamakan produk ke masyarakat menengah ke bawah dan mengutamakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Yang jelas bank konvensional yang bermain di mikro banking," ucapnya tanpa menyebutkan nama bank tersebut.
DSN terus mendorong percepatan aset bank syariah. Namun mengenai bagaimana upaya mencapai target tersebut, sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Yang pasti, menurutnya, praktik harus memperhatikan kemashlahatan umat.
"Jangan sampai konversi tapi malah menimbulkan mudharat dan akhirnya membuat bank bangkrut," ucap Nadratuzzaman.
Dia mengatakan kewenangan konversi ada di tangan Kementerian Keuangan dan BUMN. Sementara Bank Indonesia (BI) hanya berperan sebagai regulator.
Nadratuzzaman menyebut konversi memang cara efektif menaikkan market share bank syariah, tetapi risikonya terlalu tinggi. Menurutnya ada cara lain yang juga mampu mengkonversi bank syariah, yakni dengan menambah modal bank syariah.
Bank konvensional yang memiliki anak perusahaan bank syariah disarankan mengucurkan modal yang diambil dari keuntungan bisnisnya tiap tahun. Modal ideal di atas Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal.
"Sehingga jika bank syariah ingin mengembangkan usaha, tidak ada masalah dengan CAR," ucapnya.
Menurutnya saat ini modal bank syariah masih minim. Hal tersebut menjadi kendala dalam pengembangan bank syariah di Indonesia. Bank konvensional, kata Nadratuzzaman, hendaknya turut mempersilahkan anak usaha bank syariahnya untuk menggunakan jaringan IT miliknya.
Pengggunaan sistem IT dapat digunakan dalam bentuk sewa ataupun subsidi. "Kalau IT diberikan, saya rasa cepat sekali membuat bank syariah tumbuh," ujarnya.