REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Indonesia dinilai sudah mengalami krisis cerita rakyat dalam budaya lokal karena pengaruh teknologi. Kondisi ini ditandai antara lain: percampuran bahasa lokal dengan bahasa asing, orang tidak bangga lagi dengan ungkapan lokal.
''Pak Gubernur ( Sultan Hamengku Buwono X) juga menyampaikan kecemasan dalam krisis kisah rakyat. Beliau juga mempertanyakan mengapa semboyan di setiap wilayah kabupaten/provinsi menggunakan bahasa Indonesia, bukan kata-kata lokal," kata Suwardi Endraswara, Ketua Pelaksana Kongres Internasional Folklor Asia, usai beraudiensi dengan Gubernur DIY, di Kepatihan Yogyakarta, Senin (1/4).
Meskipun demikian, Suwardi mengakui folklor di Indonesia masih belum banyak yang punah dan termasuk paling banyak dibandingkan dengan negara lain di Asia.
Alasannya, folklore tidak sekedar cerita dan sastra lisan, parikan, wangsalan. Makanan rumah tinggal, batik, tata laku, tata krama juga masuk folklor.
Cerita rakyat meliputi legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok.
Yogyakarta menjadi tuan rumah Kongres Internasional Folklor Asia diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Kongres ini yang ketiga, sedangkan Kongres pertama di India dan kedua di Penang, Malaysia.
Penyelenggaraan Kongres Folklor ketiga di Yogyakarta bertujuan mendukung keistimewaan dan menggairahkan keberagaman.
Agenda di dalamnya sekaligus untuk mempertemukan bebagai tokoh tradisi Asia dalam peningkatan saling menghargai, mempromosikan kehidupan kultural yang dama di dunia dan keberagamanan folklor Asia ke tingkat dunia.
Negara yang sudah mendaftar untuk kegiatan ini antara lain: Malaysia, Brunei, Singapura, Philipina, India. Selain itu juga ada dari negara Austria, dan negara lainnya sebagai pembicara.