REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina, berpendapat anggota DPRD Aceh perlu lebih memahami makna otonomi daerah. Dengan begitu, kata dia, tidak menimbulkan hal yang dianggap bisa mengganggu harmoni.
"Karena otonomi daerah yang negara kita terapkan memang merupakan salah satu bentuk representasi pelaksanaan demokrasi Pancasila," katanya di Jakarta, Rabu (3/4). Menurutnya, DPRD yang mengesahkan bendera Provinsi Aceh yang mirip simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memperlihatkan legislatif tidak paham makna otonomi daerah.
Artinya, kata dia, ketika diberikan otonomi, daerah akan bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungannya sendiri. Dalam perspektif sosiologis, kata dia, ketika negara atau pusat memberikan kepercayaan kepada daerah, daerah-daerah ini akan banyak muncul inisiatif untuk mengembangkan daerahnya atau dengan kata lain semakin cepat pencapaian keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.
"Dalam kasus legalisasi oleh anggota-anggota DPRD Aceh mengesahkan bendera itu apa masuk dalam kategori penting untuk daerah Aceh," katanya. Ia mempertanyakan untuk apa negara membayar orang-orang yang duduk di DPRD yang mempunyai kualitas dan kapabilitas semacam itu, yakni belum bisa membedakan mana yang penting dan sangat tidak penting dan bertentangan dengan konstitusi negara.
"Saya pikir masyarakat Aceh jangan lagi mengirim wakil-wakil dewan daerah yang dengan kredibilitas dan kualitas seperti itu. Jika tidak, negara ini akan semakin terperosok pada kemunduran, bukan tidak mungkin akan mengalami disintegrasi yang tajam yang pada akhirnya Indonesia tidak akan kekal," tambah Nia Elvina.