REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draf Revisi Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) usulan pemerintah kembali menuai kontroversi. Kali ini, soal ancaman penjara kepada warga negara yang menghina presiden.
Ancaman itu tertuang dalam Pasal 264, 265, dan 266. Disebutkan, setiap orang yang menghina presiden dan wakil presiden bisa dipidana penjara maksimal lima tahun.
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyatakan, pasal tersebut bisa menghilangkan asas kesetaraan hukum antara presiden dan rakyat. Padahal, menurutnya, tidak boleh ada keistimewaan bagi siapapun dalam berhadapan dengan hukum.
“Jika presiden dicaci maki itu risiko kekuasaan,” katanya kepada wartawan di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (3/4).
Masuknya pasal penghinaan dalam draf RUU KUHP merupakan bentuk penghinaan terhadap keputusan pengadilan. Eva menyatakan, pada 2006 Mahkamah Konstitusi pernah membantalkan pasal ini.
Ketika itu, MK berpandangan pasal penghinaan tidak demokratis. “Aneh pemerintah membangkang putusan hukum,” ujar Eva.
Eva mendesak pemerintah berinisiatif mencabut pasal penghinaan terhadap presiden. Menurutnya pasal tersebut rawan terkena uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Dia yakin kalaupun pasal itu diloloskan DPR, MK akan kembali membatalkan. “Ini seperti manuver yang sia-sia, karena potensinya akan digugurkan juga oleh MK," kata Eva.