REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peredaran Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Indonesia semakin meningkat. Deputi IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Masnellyarti Hilman, mengungkapkan pada 2011 jenis B3 diregistrasi ada 40-an jenis dan pada 2012 meningkat menjadi 70 jenis.
"Hal ini tentu mengkhawatirkan kita semua," ujar Masnellyarti pada diskusi 'Memperebutkan Kewenangan Pengelolahan Limbah B3 Mengorbankan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat' di kantor Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Jakarta, Rabu (4/5).
Masnellyarti mengungkapkan, berdasarkan UU No 23/2009, B3 merupakan zat yang merusak lingkungan dan kesehatan. B3 umumnya disebut dengan zat kimia beracun dan di kalangan industri menjadi bahan baku. "Jenis B3 ada kategori yang dapat digunakan, sementara yang dilarang digunakan tidak dapat masuk ke Indonesia."
B3 terbagi menjadi tiga katagori, yaitu bisa dimanfaatkan, terbatas dimanfaatkan, dan tidak bisa dimanfaatkan. B3, Masnellyarti menerangkan, berbeda dengan limbah B3. Jika B3 bisa diolah, limbah B3 tidak bisa diolah kembali. "Limbah B3 merupakan sisa pengolahan B3 yang tidak bisa diolah kembali," tuturnya.
Di Indonesia, limbah B3 banyak berada di area pertambangan, perkebunan, industri, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan pesisir sub-urban kota besar. B3 berikut limbahnya sangat berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat. Salah satu bahaya yang ditimbulkan dari adanya dumping limbah B3, yakni kerusakan pada syaraf.
Mengantisipasi bahaya tersebut, Masnellyarti menuturkan, saat ini pemerintah tengah merancang peraturan pemerintah tentang pengelolaan, pengolahan limbah, dan dumping B3 yang merupakan revisi dari PP No 74/2001.