REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan pengesahan Qanun 3/2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Yusril mengatakan, soal bendera awalnya dirundingkan di Helsinki, Finlandia dan dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005.
Isi MoU Helsinki, kata Yusril, kemudian dituangkan dalam UU 11/2005 tentang Pemerintahan Aceh. Khusus Pasal 246 mengatur bendera dan lambang Aceh. Yusril menjelaskan, esensi Pasal 246 mengundang empat hal, yaitu bendera mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh, bendera bukan simbol kedaulatan, ketentuan lebih lanjut diatur dengan Qanun Aceh, dan penyusunan qanun berpedoman peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) itu melanjutkan, keistimewaan dan kekhususan Aceh dirumuskan dalam kosiderans UU 11/2005. "Keistimewaan dan kekhususan adalah dikarenakan karakter sejarah perjuangan dengan ketahanan dan daya juang yang tinggi," kata Yusril lewat akun twitter, @Yusriliha_Mhd, Jumat (5/4).
Sehingga, bendera Aceh yang diatur Qanun 3/2013 harus mencerminkan semangat juang masyarakat Aceh dan syariat Islam. Penyusunan qanun, sambungnya, harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan berlaku, termasuk konstitusi RI, yaitu UUD 1945.