Jumat 12 Apr 2013 16:40 WIB

Ekonom UI: Tak Ada Opsi Selain Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Rep: Muhammad Iqbal / Red: Djibril Muhammad
Pemerintah direncanakan akan menerapkan pembatasan BBM bersubsidi per 1 Mei nanti untuk menghemat konsumsi BBM.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pemerintah direncanakan akan menerapkan pembatasan BBM bersubsidi per 1 Mei nanti untuk menghemat konsumsi BBM.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Opsi-opsi yang sedang dikaji pemerintah terkait pengendalian subsidi bahan bakar minyak dinilai sulit untuk dikontrol.

Ekonom Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha mengatakan satu-satunya opsi untuk mengurangi beban subsidi BBM terhadap anggaran adalah menaikkan harga. "Tidak ada solusi lain selain itu," tutur Artha kepada Republika, Jumat (12/4).

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menyebut pembahasan terkait pengendalian subsidi BBM kini mengurucut pada dua opsi yakni menaikkan harga dan mengurangi subsidi untuk masyarakat mampu.

Meskipun demikian, pemerintah mengisyaratkan opsi menaikkan harga kemungkinan tidak akan diambil mengingat dampaknya terhadap inflasi relatif tinggi. Sebagai gambaran, alokasi belanja subsidi BBM pada APBN 2013 mencapai Rp 193,8 triliun dengan kuota setara 46,01 juta kilo liter.

Artha mengatakan keengganan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dengan alasan kekhawatiran terhadap lonjakan inflasi tidak beralasan. Sebab, dampak inflasi akibat kenaikan harga relatif kecil dan memiliki jangka waktu yang pendek. 

Hal ini berbeda dengan opsi menaikkan harga. Opsi menaikkan harga, kata Artha, lebih menguntungkan mengingat konsumsi BBM bersubsidi dapat ditekan.

Selain itu, beban terhadap neraca perdagangan akan tereduksi mengingat impor minyak mentah dan hasil minyak menunjukkan tren meningkat.

Peningkatan impor minyak telah berdampak pada tingginya permintaan terhadap dolar AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah menjadi terdepresiasi dan ujung-ujungnya meningkatkan inflasi.

"Tapi kondisinya memang sulit untuk menaikkan harga. Presiden SBY telah kehilangan momentum karena sekarang kondisi politiknya tidak memungkinkan," kata Artha.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia per Februari 2013 mengalami defisit 327,4 juta dolar AS atau sekitar (Rp 3,18 triliun). Angka tersebut berasal dari nilai ekspor sebesar 14,99 miliar dolar AS (Rp 145,62 triliun) dan nilai impor senilai 15,32 miliar dolar AS (Rp 148,8 triliun).

Kepala BPS Suryamin mengatakan tertekannya neraca perdagangan Indonesia per Februari 2013 tak lepas dari masih tingginya impor minyak dan gas (migas). Nilai impor migas tercatat 3,645 miliar dolar AS (Rp 35,4 triliun). Rinciannya impor minyak mentah 826,8 juta dolar AS (Rp 8 triliun), hasil minyak 2,579 miliar dolar AS (Rp 25 triliun) dan gas 239 juta dolar AS (Rp 2,32 triliun).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement