REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Partai Demokrat untuk menggelar konvensi calon presiden (capres) mendapat apresiasi.
Dewan Penasihat CSIS, Jeffrie Geovanie menilai format capres partai Demokrat akan sangat demokratis dan meriah.
''Sangat cukup waktu bila dimulai Juni 2013 ini,'' ujar Jeffrie dalam siaran persnya kepada ROL, Jumat (12/4).
Menurut dia, konvensi capres Demokrat bisa diisi dengan safari debat terbuka di sejumlah kota besar seperti Surabaya, Semarang, Medan, Makasar, Bandung, Lampung, Padang, Palembang, Malang, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya.
''Dan sebaiknya acara debat terbuka tersebut diadakan tiap hari Minggu sore, ditayangkan setidaknya di empat stasiun televisi, dengan topik yang berganti tiap pekannya,'' tutur Jeffrie.
Setiap bulan, kata dia, hasil survei terhadap capres-capres peserta konvensi juga diumumkan secara terbuka. Jeffrie optimistis, Maka masyarakat akan sangat antusias melihat dan mengikuti konvensi yang akan digelar hingga Pemilu 2014.
''Saya berharap tokoh-tokoh seperti Jusuf Kalla, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Chairul Tanjung, Sri Mulyani dan Irman Guzman bisa menjadi peserta konvensi capres partai Demokrat,'' ungkapnya.
Jeffrie mengusulkan untuk menentukan pemenang konvensi, cara yang efisien dan demokratis yaitu melalui survei langsung ke masyarakat Indonesia. ''Tentu harus lembaga survei yang punya kredibilitas.''
Endang Tirtana, peneliti pada Maarif Institute, mengapresiasi langkah Partai Demokrat. Menurut dia, langkah ini mestinya juga ditiru partai-partai peserta pemilu 2014.
''Karena dengan konvensi akan menunjukkan bahwa parpol telah beradaptasi dengan dinamika pemilih di Indonesia. Dengan kata lain, adalah partai modern yang merespons perubahan dan dinamis,'' tutur Endang.
Menurut dia, konvensi menjadi penting jika melihat fenomena Golput dan masa depan demokrasi Indonesia. ''Jumlah suara Golput yang konsisten meningkat menjadi pemenang dalam Pemilu bisa jadi menunjukkan keengganan masyarakat pemilih untuk berpartisipasi dalam pesta rakyat yang diadakan setiap lima tahun ini.''
Jika menggunakan konsep Atkinson dalam melihat Golput sebagai bagian dari fenomena "voluntary exclusions" atau memilih sendiri untuk tidak terlibat, kata Endang, maka praktik politik di Indonesia masih meng-eksklusi masyarakatnya.
''Meminjam konsep modal sosial, bahwasanya menurunnya kepercayaan ini akan berdampak pada kualitas tata pemerintahan dan juga selanjutnya dalam pembangunan ekonomi. Untuk itu konvensi bisa menjadi strategi untuk menarik kembali minat masyarakat dan kepercayaan masyarakat dan juga mendidik masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik.''