Rabu 17 Apr 2013 22:28 WIB

Praktisi Pendidikan: Akhlak Guru Perlu Dibenahi

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Dewi Mardiani
Suasana SMA Negreri 22 Jakarta, Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat (1/3). Wakil Kepala SMAN 22 berinisial T, dibebastugaskan dari profesinya sebagai guru. atas dugaan melakukan pelecehan terhadap salah satu siswinya
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Suasana SMA Negreri 22 Jakarta, Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat (1/3). Wakil Kepala SMAN 22 berinisial T, dibebastugaskan dari profesinya sebagai guru. atas dugaan melakukan pelecehan terhadap salah satu siswinya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap siswa akhir-akhir ini mendapat sorotan dari praktisi pendidikan, Munif Chatib. Menurutnya, masalah ini patut mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama penyelenggara pendidikan.

“Problem utamanya ada di akhlak guru,” tutur Munif saat dihubungi, Rabu (17/4). Ia menyatakan ada yang perlu dibenahi pada sistem keguruan di negeri ini. Mulai dari tahap pembentukan calon guru, rekrutmen, hingga pembekalan buat para guru yang mengajar di berbagai institusi pendidikan.

Pada tahap pembentukan guru, ia menyorot minimnya pendidikan akhlak untuk mahasiswa yang menjalani studi ilmu keguruan di perguruan tinggi. “Pada berbagai jenjang, mulai dari S1, S2, hingga S3, pendidikan akhlak guru bisa dikatakan sangat jarang, bahkan tidak ada,” ujarnya.

Masalah berikutnya ada pada tahap rekrutmen. Proses seleksi calon guru di negara ini, kata dia, terlalu mengedepankan aspek kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektif (akhlak). Hal ini bisa dilihat dari tahapan penerimaan CPNS untuk tenaga pengajar di sekolah-sekolah negeri. “Yang diuji pertama kali dari calon guru adalah kemampuan otaknya, lalu psikomotorik. Sementara penilaian akhlaknya dihitung belakangan,” imbuhnya.

Karena itu, ia menawarkan metode terbalik, yaitu penjaringan calon guru dimulai dari aspek afektif, lalu psikomotorik, baru disusul dengan ujian kognitif. Selain itu, guru perlu diberikan pelatihan soft skill berkaitan dengan akhlaknya sebagai pendidik. “Guru itu bukan sekadar memberikan ilmu, tapi juga menjadi uswatun hasanah bagi para siswanya. Bagaimana mungkin guru memberi contoh yang baik kalau akhlaknya belum dibenahi,” tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement