REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi membuat tanggapan langka pada Rabu (17/4) tentang kekerasan aliran di negaranya, mengaku bukan penyihir dan tidak mampu memecahkan sengketa lama suku di sana.
Saat berbicara kepada mahasiswa di Universitas Tokyo dalam kunjungnya ke Jepang, Suu Kyi mempertahankan sikapnya bahwa hukum perlu ditegakkan di Myanmar negara berpenduduk sebagian besar umat Buddha dan pihak terlibat dalam kekerasan harus membangun suasana ramah.
Ia tidak langsung merujuk pada kekerasan pimpinan biksu baru-baru ini di kota Meikhtila, yang menewaskan 43 orang. Ribuan orang, sebagian besar Muslim, diusir dari rumah dan usaha mereka saat pertumpahan darah menyebar di Myanmar tengah, meminggirkan suku kecil Muslim di salah satu negara paling beragam di Asia itu.
"Saya sudah mengatakan bahwa hal paling penting adalah membangun pengutamaan hukum, bukan hanya tentang peradilan, tapi tentang aturan, pemerintah, kepolisian, pelatihan kepada pasukan keamanan," kata Suu Kyi, seperti dilansir AFP.
Ia menambahkan bahwa pengadilan Myanmar tidak memenuhi ukuran demokrasi, karena "benar-benar dikuasai eksekutif". Kegagalan penerima Nobel Perdamaian itu meredakan ketegangan merusak citranya sebagai kekuatan moral pemersatu. Suu Kyi, warga Buddha taat, sebelumnya mengatakan ada sedikit kekerasan.
"Kami harus membangun suasana keamanan, tempat orang dengan pendapat berbeda bisa duduk dan bertukar pikiran dan memikirkan hal milik bersama," katanya. Anggota masyarakat suku kecil Muslim Myanmar, Rohingya, pada pekan lalu menyatakan dilarang mengikuti pertemuan menyambut Suu Kyi di Jepang.