REPUBLIKA.CO.ID, Rencana Uni Eropa mencabut sanksi ekonomi terhadap Myanmar dinilai wajar. Hal ini dinilai sebagai sikap Barat terhadap konflik etnis dan agama di Myanmar setelah Amerika Serikat sebelumnya juga bersikap lunak terhadap pembantaian Muslim di negara Buddha tersebut.
Analis politik dari Koalisi Muslim, Kristen dan Yahudi Kevin Barret menjelaskan, Barat memang sengaja tidak menekan Pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan menghentikan genosida atau pembersihan etnis rakyat Rohingya.
Meski praktik pelanggaran HAM di Myanmar lebih berat ketimbang negara lain di dunia, kepentingan ekonomi dinilai masih menjadi prioritas. "Barat khususnya Amerika Serikat malah membuka hubungan baik dengan Pemerintah Myanmar pada saat Myanmar telah mengawali komitmen genosida di wilayahnya,"ujarnya seperti dikutip Presstv.
Menurutnya, kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah geo strategi untuk membuat Myanmar keluar dari orbit Cina dan mendekatkannya dengan orbit Barat. "Amerika Serikat dengan perwakilannya mencoba untuk membangun lebih banyak hubungan bisnis, uang lebih banyak digunakan,"ujarnya.
Menurutnya, Amerika Serikat juga memberikan Cina alarm militer. Ada penahanan dari strategi Cina yang sedang berlangsung. "Obama memanggilnya perpindahan ke asia,"ungkapnya.
Setelah Barat membelit timur tengah dengan perang dan teror, Barat mengantisipasi perang di masa depan dengan Cina. Pendekatan terhadap Myanmar, ujarnya, menjadi penting untuk mencegah Cina terus berkembang dan menjadi ekonomi terbesar di dunia.