REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat terjadi penurunan impor barang modal di triwulan I 2013. Kepala BKPM Chatib Basri menjelaskan, tren penurunan impor barang modal sebenarnya sudah terlihat sejak November 2012.
"Jika penurunan impor barang terus turun, maka realisasi investasi melambat,’’ ujarnya di gedung BKPM, Senin (22/4).
Namun, lanjutnya, melambatnya investasi tidak langsung dapat dilihat pada kuartal pertama karena realisasi investasi BKPM memiliki rentang waktu sampai sembilan bulan dengan impor barang modal. Jadi, dampak menurunnya impor barang modal terhadap realisasi investasi dapat dirasakan mulai triwulan ketiga 2013.
"Tapi saya optimis (realisasi investasi) di triwulan III 2013 masih tumbuh 10 sampai 20 persen. Melambatnya realisasi investasi baru dirasakan dampaknya pada akhir tahun atau triwulan IV 2013,’’ ucapnya.
Dia menjelaskan, impor barang modal turun karena faktor eksternal yaitu akibat resesi global dan dan hal itu tercemin di Indonesia melalui ekspor, meskipun andilnya hanya 25 persen dari produk domestik bruto (GDP). Sedangkan faktor internal (menurunnya impor barang modal) karena infrastruktur dan pengadaan lahan (tanah).
"Selama ini investor mengeluh mengenai izin dan tanah,’’ katanya. Jadi, lanjut Chatib, daftar negatif investasi (DNI) harus direvisi yang lebih ramah kepada investor.
Chatib menegaskan, selama ini BKPM tidak tinggal diam dan melakukan upaya pencegahan media mempermudah.. Caranya, tambahnya, BKPM memotong formulir permohonan (investasi) dari 38 formulir menjadi 15 formulir saja. "Kemudian kerja sama dengan pihak daerah, seperti kepala daerah supaya izin menjadi lebih mudah,’’ ujar dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor barang modal pada Oktober 2012 mencapai 3,30 miliar dolar AS, kemudian menurun pada November menjadi 3,26 miliar dolar AS, dan berlanjut pada Desember 2012 menjadi 3,01 miliar dolar AS. Pada 2013 terus menurun, di mana pada Januari realisasi impor barang modal 2,63 miliar dolar AS dan turun lagi pada Februari menjadi 2,56 miliar dolar AS.