REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Golkar menilai, hak asasi manusia (HAM) menjadi alasan kenapa politik dinasti semakin menguat di Tanah Air. Ini yang membuat aturan mengenai politik dinasti dalam RUU Pilkada menjadi sulit untuk terealisasi.
"Dalam RUU Pilkada mau diatur pun hampir semua partai tidak setuju. Demokrasi ternyata juga melahirkan politik dinasti ini," kata Wasekjen Partai Golkar, Nurul Arifin, Selasa (23/4).
RUU Pilkada awalnya berencana untuk menghambat politik dinasti di Indonesia. Yaitu dengan membuat larangan bagi keluarga petahana untuk maju menjadi kepala daerah di tempat lain. Namun, usulan ini banyak ditentang karena dianggap melanggar HAM setiap warga negara.
Menurutnya, sulit untuk melarang dan membuat politisi menahan hasrat politik mereka. Begitu pula dalam penentuan daftar caleg sementara (DCS). Yaitu untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan. Banyak caleg perempuan yang maju ternyata merupakan istri atau anak perempuan politisi.
"Sesungguhnya kondisi tersebut telah keluar dari spirit dan roh yang kami impikan," ujar politisi yang membidani UU Pemilu tersebut.
Harapannya, ujar Nurul, pemilu ke depan partai dapat sungguh-sungguh menjalankan fungsi rekrutmen dan pendidikan politik. Terutama untuk perempuan. Termasuk tidak lagi menjadikan perempuan hanya sebagai komoditas politik.