REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pencantuman hak diskresi bagi kepala daerah dalam RUU Pemerintah Daerah dipastikan tidak bertentangan dengan hukum pidana. “Karena ada batasan-batasan yang harus ditaati dalam penggunaan hak tersebut,” ujar Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta, Selasa (23/4).
Selama ini, mekanisme deskresi atau kebijakan terobosan yang diambil seorang pejabat publik sering dianggap melanggar UU dan diidentikkan dengan pidana. Sementara di sisi lain, kebijakan semacam ini kadang dibutuhkan, terutama pada saat-saat darurat, sehingga membuat blunder pejabat daerah.
Karena itulah, kata Gamawan, hak diskresi perlu diatur. Tujuannya melindungi kepala daerah yang berani membuat kebijakan kreatif menerobos UU, tapi tidak merugikan negara.
Penggunaan hak ini harus dengan tiga syarat, yaitu demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
“Jadi, hak ini bukan untuk membuat kepala daerah menjadi kebal hukum. Pengertiannya tidak sesederhana itu.”
Ia pun menegaskan penggunaan hak diskresi yang bermuatan suap, tetap akan dikenai pasal hukum pidana korupsi. “Kalau yang namanya suap, ya tetap suap,” tegasnya.
Saat ini, pengesahan RUU Pemerintah Daerah masih menunggu masa sidang IV DPR yang menurut rencana akan dimulai pada 13 Mei nanti.