REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan mengakui sulit memberantas peredaran barang palsu yang melanggar hak kekayaan intelektual (HKI), paten, atau merek dagang karena perbedaan harga yang terlalu jauh.
"Permintaan pasar terhadap barang palsu semakin tinggi lantaran harganya terlalu murah," ujar Wakil Menteri Perdagangan RI, Bayu Krisnamurthi usai 'media briefing' diskusi peningkatan daya saing hak kekayaan intelektual (HKI) di Jakarta, Selasa (23/4).
Menurutnya, selain harga yang murah, faktor lain adalah kinerja aparat penegak hukum yang belum optimal. Akibatnya, aksi pembajakan dan pemalsuan merek dagang semakin marak.
"Memang lawan kita adalah harga. Barang-barang itu murah, mudah, tersedia. Contohnya, kalau kita beli DVD asli kita keluar duit Rp 170.000, di pinggir jalan Rp 5.000 sudah dapat, memang itu tantangannya," ujar Bayu.
Dikatakan Bayu, sepanjang 2012 ada 732 pelanggaran paten perusahaan dan merek. Kebanyakan yang dipalsu adalah alat elektronik, alat rumah tangga, dan suku cadang. "Depkumham 2012 hingga maret 2013 sudah tangkap 732 pelanggaran barang beredar diantaranya barang palsu," katanya menjelaskan.
Jumlah itu belum mencakup jumlah barang yang dipalsukan, dan tidak termasuk produk makanan dan minuman yang masuk pengawasan Badan POM. "Jumlah 732 pelanggaran itu bukan oleh volume, jumlah items-nya bisa ribuan apalagi kalau ditambah hasil tangkapan Badan POM," ujar Bayu.
Namun, Bayu menilai pertumbuhan kelas menengah Indonesia akan membantu mengurangi peredaran barang melanggar paten. Sebab, konsumen dari kelas menengah mementingkan kualitas dan merek produk.
"Ada 50 juta penduduk saat ini masuk kelas menengah, akan jadi 120 juta orang dalam 12 tahun ke depan. Mereka itulah penggerak konsumsi, kalau mereka juga terbangun kesadarannya tentang HKI, maka masyarakat juga makin peduli cari yang original," ujar Bayu memaparkan.
Disisi lain, lanjutnya, Kemendag juga semakin menerapkan promosi produk ekspor yang menghargai hak intelektual termasuk produk pertanian dan perkebunan. "Kalau dari segi HKI. Kita sekarang bekerja memberi apresiasi pada merek dan kreativitas itu, kopi misalnya. Kita bedakan berdasarkan geographical identification, itu kita beri nilai," ujar Bayu.