REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON--Populasi Muslim AS setiap tahunnya terus bertambah. Namun, selepas tragedi bom Boston, oleh pihak tertentu peningkatan populasi itu ditenggarai karena adanya aktifitas cuci otak.
Seorang mualaf Lauren Scheriber sangat menyayangkan isu tersebut. Menurut dia, isu ini mirip seperti mempertanyakan keputusan Muslim mengenakan jilbab.
Jadi, ketika Muslimah mengenakan jilbab ada komentar yang mengatakan kebebasannya sebagai pribadi telah hilang. "Itu salah sekali. Tidak ada cuci otak, saya menjadi Muslim karena itu pilihan," kata dia seperti dikutip AP, Ahad (28/4).
Schreiber menambahkan ia dan Muslimah lainnya lebih berkenan mendapat pertanyaan soal jilbab ketimbang muncul asumsi dibalik keputusan itu. "Saya ingin katakan kepada masyarakarkat AS, keputusan kami adalah murni pilihan bukan karena propaganda atau cuci otak," kata dia.
Rebbeca Minor, 28 tahun, yang juga seorang Mualaf membenarkan pendapat Scheriber. Baginya, menjadi Muslim atau putusan mengenakan jilbab merupakan satu wujud komitmen. Sebuah komitmen yang mencerminkan itikad baik sebagai pribadi yang percaya terhadap ajaran Nabi Muhamamd SAW.
Berkembangnya isu itu juga menarik komentar Pakar Sejarah Islam dan Hubungan Islam-Kristen, Universitas Georgetown, Tvonne Haddad. Menurutnya, isu cuci otak itu merupakan hal yang menyakitkan. "Isu ini seolah jadi pembenaran bagi mereka yang tidak menyukai Islam dan Muslim," kata dia.
Pendapat senada juga diutarakan Lindsey Faraj, 26 tahun. Ia mengatakan keputusan seseorang menjadi Muslim karena orang itu telah menerima konsep Islam baik melalui pikiran dan hatinya. "Konsep Islam telah memasuki hatiku," kata dia.