REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Laporan Human Right Watch yang dirilis pada 22 April 2013 mengutip pernyataan beberapa orang Arakan yang diwawancara. Suku etnis Myanmar itu menyebut Muslim Rohingya sebagai teroris kalar.
Mereka percaya kalau setiap Imam Masjid memiliki hubungan dengan Al Qaidah dan masjidnya digunakan sebagai gudang senjata. Anggapan ini diperparah dengan pernyataan biksu di Sittwe kalau aparat keamanan menemukan dua boks besar senjata di Masjid utama.
Seorang Arakan mengungkapkan pikiran paranoidnya. Katanya, sekitar 50 persen Muslim Rohingya berpikir seperti Taliban. Mereka belajar di madrasah dan Ideologi mereka sama dengan Taliban. Polisi pun tahu akan hal ini dan berbicara kepada warga.
Akibat tuduhan itu, sebuah Desa bernama Yan Thei, diserang orang-orang Arakan pada 23 Oktober 2012. Setidaknya, 52 orang tewas akibat pembunuhan massal tersebut.
Hanya, dua saksi mengklaim terdapat 70 warga Rohingya yang terbunuh. Mereka bilang ada belasan orang lain yang meninggal dunia setelah menderita luka parah.
Pada 25 Oktober, warga desa mulai menggali kuburan untuk para korban. Beberapa penggali yang diwawancara HRW mengaku, kerap diawasi polisi dan tentara. Aparat pun menyuruh mereka menggali lobang yang lebih besar karena banyaknya korban.
Seorang warga Rohingya lain mengaku telah mengubur sebelas pria, 20 perempuan dan 30 anak-anak. Ketika itu, puluhan bocah tak bisa kabur bersama orang tua mereka. "Semuanya dibunuh dengan pisau dan mereka melemparkannya ke api,"ujarnya.