REPUBLIKA.CO.ID, ALMATY -- Usai shalat Jumat, suasana masjid Atyaru ramai seketika. Sebagian besar jamaah yang datang merupakan anak muda berusia 30 tahun.
Kebanyakan dari mereka mengenakan celana panjang yang menggantung di atas telapak kaki dan berjenggot panjang. Sepanjang jalan, kamera yang berada di tiang telepon mengawasi gerak-gerik mereka.
Namun, mereka tak peduli. Mereka justru mencoba untuk bersikap biasa kendati rasa emosi tertahan dalam dada. Sejak beberapa tahun silam, Kazakhstan memberlakukan kebijakan pengawasan ketat terhadap umat Islam.
Langkah ini dilakukan untuk menekan pertumbuhan kelompok ektrimis. Sayang, kebijakan itu justru melenceng dari seharusnya. Karena yang terjadi aturan itu justru membuat Muslim tidak boleh menjalankan kewajibannya dan memperlihatkan identitasnya sebagai umat Islam.
"Saya tidak bisa memakai jenggot karena saya seorang guru," kata salah seorang warga Almaty yang enggan disebutkan namanya kepada Eurasianet.org, Senin (29/4).
Kondisi serupa dialami Saleh Muslim. Mantan petinju ini mengalami diskriminasi karena statusnya sebagai Muslim. Ironisnya, alasan pemecatan itu adalah Saleh rajin melaksanakan shalat lima waktu selama jam kerja.
Kendati mengalami perlakuan tidak adil, umat Islam Kazakhstan tidak putus asa dengan kondisi itu. Mereka justru optimis Islam akan bangkit di Kazakhstan. Tanda-tanda Itu terlihat dari antusisme Muslim dalam memakmurkan masjid.
"Kami memang merasa buruk dengan situasi telepon disadap, kamera ditaruh di depan masjid. Tapi apa yang kami alami ini lebih baik daripada di Rusia," kata Magomet, sesepuh Muslim di Almaty.
Magomet mengatakan sepuluh tahun lalu hanya ada lima atau enam yang melaksanakan shalat Jumat. Mereka yang datang merupakan orang tua. "Sekarang, banyak Muslim yang datang. Mereka adalah anak muda," kata dia.