REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE -- Muslim Asutralia kembali menjadi korban diskriminasi. Kali ini, seorang remaja, Hafsah Negussie tidak dilayani ketika hendak membayar bensin yang ia beli.
"Sangat mengerikan," kata Hafsah yang mengenakan niqab seperti dikutip Courier Mail, Senin (29/4).
Hafsah mengatakan ia lahir dan dibesarkan di Australia. Sudah sepantasnya ia mendapatkan perlakuan yang sama kendati dirinya seorang Muslim. "Aku tahu hak-hak saya sebagai warga negara Australia," kata dia.
Lantaran tidak terima dengan perlakuan itu, Hafsah mengajukan masalah itu kepada komite anti diskriminasi. Ironisnya, laporan Hafsah ini sebenarnya sudah diajukan Desember lalu, namun belum diusut oleh aparat kepolisian.
Secara terpisah, Kepolisian Brisbane mengatakan mereka akan meninjau laporan Hafsah pada Desember lalu. Sebabnya, ada kesalahan yang mungkin terjadi sehingga kasus ini baru diusut April ini. "Ada yang tidak sesuai dari versi korban dan petugas polisi," kata Inspektur Rod Kemp.
Menurut Kemp, ketika kejadian SPBU yang bersangkutan tidak memiliki CCTV dan tidak ada saksi independen yang melihat kejadian. "Yang pasti, kami akan coba mengusut kejadian ini," kata dia.
Sersan Michael Maat, dari Unit Kebijakan Strategis dan Budaya mengatakan kepolisian akan mengusut kasus ini secara intensif dengan mengedepankan rasa hormat terhadap keyakinan agama seseorang. "Kami tidak pernah punya kasus terkait jilbab. Jika ada seseorang mengenakan sesuatu yang menutupi rambut dan telinga maka itu tidak masalah," kata dia.
Pengacara Hafsah, Sabrina Khan Ismail menilai kejadian ini sangat merugikan kliennya. "Kami percaya kebebasannya dirampas dan cukup trauma dengan masalah ini," kata dia. Juru bicara pengelola SPBU tersebut mengatakan seorang konsumen perlu untuk melepas helm, topi atau apapun yang menutupi wajahnya ketika hendak membayar.
Kebijakan ini tidak berlaku bagi mereka yang mengenakan simbol agama."Ada kesalahpahaman di sini. Tentu kami meminta maaf kepada Hafsah," kata dia.