REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI Hakam Naja mengatakan, implikasi dari caleg dinasti yakni penutupan akses publik terhadap pembuatan kebijakan. Sebab bangunan politik dikuasi segelintir orang dengan hubungan kekerabatan.
Eksekutif maupun legislatif tidak bisa diakses semua pemangku kepentingan, karena dikuasai anggota dinasti politik tertentu yang tidak punya kompetensi, hanya karena punya hubungan keturunan saja.
Caleg dinasti, ujar Hakam, jika lolos menjadi anggota legislatif maupun eksekutif bisa merugikan masyarakat, apalagi jika mereka tidak berkualitas. Kebijakan yang diambil menjadi tidak bermutu bahkan jika kebijakan yang mereka ambil itu untuk kepentingan keluarga.
"Dana yang digunakan untuk mendukung kebijakan yang dibuat malah akan terhambur dengan percuma karena tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat," ujarnya.
Saat ini, terang Hakam, Komisi II DPR RI sedang menggodok RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dalam RUU yang diajukan pemerintah ini terdapat upaya untuk menghilangkan caleg dinasti. Hubungan kekerabatan baik ke atas, bawah, maupun samping tidak boleh ikut nyaleg.
Misalnya, ujar Hakam, jika bapaknya sudah nyaleg, anaknya dan istrinya tidak boleh nyaleg. Sejumlah fraksi setuju dengan upaya penghilangan politik dinasti ini. Namun Golkar, PDIP dan Gerindra menolak usulan ini.