REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Kehidupan hewan berkantung ikoning asal Australia, Koala mulai terancam. Penyusutan habitat, lalu lintas dan serangan anjing, juga pemanasan global berpotensi akan mengurangi jumlah mereka.
Mereka juga diburu demi sebua mantel wol dan kini sedang melawan musim kering berkepanjangan dan kebakaran hutan di Australia.
Dalam 20 tahun terakhir, populasi koala menurun signifikan hingga 40 persen di Queensland dan New South Wales. The Australian Koala Foundation (AKF) memperkirakan hanya ada 45 ribu hingga 90 ribu ekor koala yang tersisa di alam liar.
Penyusutan habitat ini memperburuk risiko penyakit yang diderita koala. Diperkirakan sekitar empat ribu ekor koala dibunih setiap tahunnya oleh anjing atau akibat ditabrak mobil.
Perubahan iklim juga memaksa koala untuk mati pelan-pelan. Peneliti AKF, McAlpine mengungkapkan, koala terbiasa hidup di daerah bersuhu 37,7 derajat selcius.
"Suhu di Australia kini semakin tinggi, mencapai 40 derajat selcius. Ini mendorong koala hidup melampaui batas iklim mereka," ujarnya, dilansir dari the Guardian, Jumat (3/5).
Koala dalam bahasa Aborigin berarti tidak minum. Sebagai makhluk endemik, koala memakan dan memperoleh kebutuhan mereka akan air dari kelembaban daun kayu putih yang mereka makan. Agar tetap bertahan hidup, koala setidaknya harus memakan 500 gram daun setiap harinya.
Namun, suhu terlalu tinggi membuat hutan eukaliptus yang menjamin pakan koala sebanyak 35 persennya berada di bawah ancaman penebangan. Sebanyak 41 juta hektare (ha) dari 151 juta ha dibuka untuk lahan pertanian dan pembangunan perkotaan.