REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, akan mengeluarkan payung hukum terkait dengan tradisi adat leluhur di pedesaan. Payung hukum tersebut, digadang-gadang dalam bentuk peraturan bupati.
Dengan adanya regulasi tersebut, nantinya tradisi dan adat di pedesaan akan dilindungi. Serta, kegiatannya dilegalkan. "Perbup ini, untuk melindungi tradisi dan adat yang sudah ada," ujar Dedi, Jumat (3/5).
Dedi menilai, saat ini tatanan tradisi adat leluhur telah rusak. Rusaknya tatanan tradisi tersebut, disebabkan karena dua faktor. Pertama, pengaruh budaya asing akibat kemajuan teknologi. Kedua, karena tatanan perubahan politik yang diperankan oleh segelintir elit.
Untuk itu, tradisi khususnya sunda yang dikenal dengan masyarakat pilemburan (pedesaan) perlu dipertahankan keberadaannya. Sebab, tradisi masyarakat ini, sangat menggantungkan hidupnya pada kebaikan alam.
Jadi, bila tatanan tradisi ini rusak, maka kerusakan itu akan berdampak pada alam sekitarnya. Misalnya, seiring dengan zaman yang semakin modern, masyarakat dituntut untuk semakin konsumtif.
Dampaknya, alam dirusak. Pepohonan yang ada di hutan, ditebangi. Hasilnya, dipergunakan untuk membeli barang-barang teknologi canggih. Seperti, telepon selular serta komputer jinjing.
Tindakan tersebut, tanpa diseimbangkan dengan cara melestarikan alamnya. Bila alam sudah rusak, akibat terparahnya bisa menimbulkan bencana. Jadi wajar, bila saat ini sering terdengar bencana banjir dan longsor. Sebab, alamnya sudah tak seimbang lagi.
Kondisi demikian, lanjut Dedi, perlu mendapat perhatian serius. Pemerintah tak bisa tinggal diam, melihat masyarakat merusak alamnya. Untuk itu, perlu ada regulasi yang mengatur itu semua.
Regulasi itu, sebagai bentuk perhatian pemerintah. Dengan adanya perbup menganai tatanan tradisi adat nantinya, bukan hanya sekadar menjaga keberlangsungan hidup dan adatnya.
Tetapi, lebih nyata memberikan ruang gerak bagi mereka untuk mendapatkan kepastian hukum adat, yang khusus berlaku dan berbeda dengan hukum demokrasi pada umumnya.
"Jadi, tradisi dan hukum adat yang menyertai bagi aktifitas sekelompok masyarakat atau suatu desa yang ada di Purwakarta, sifatnya legal," ujarnya.
Menurut Dedi, perbup atau perda yang dibuat itu, bila perlu mencakup juga perbedaan struktur pemerintahan di desa tersebut. Termasuk dalam proses demokrasi terkait pemilihan kepala desanya.
Hal-hal yang berkaitan dengan politik, kekuasaan, pemerintahan dalam adat, tidak lagi disamakan dengan pemerintahan desa pada umumnya.
Dengan kata lain, bisa saja nanti kepala desa adalah ketua adat setempat, yang dipilih oleh persetujuan wakil-wakil adat dengan kesepakatan bersama. Bukan melalui pemilihan seperti biasa, dalam ajang pesta demokrasi Pilkades. Pemilihan tersebut, dinilai sangat kental dengan nuansa politis.
Jadi, produk yang dihasilkan selama kepemimpinannya juga lebih cenderung berbau politik. Akan tetapi, bila hukum adat yang berlakukan, maka akan melahirkan tradisi pedesaan yang menekankan kehidupan pada alam dan kearifan lokal.
Jadi, tidak ada lagi perebutan kekuasaan. Yang ada adalah tatanan kehidupan masyarakat yang damai. Tidak ada kekurangan suatu apapun. Karena, keyakinan adat mereka alam akan memberikan segalanya.
Jika mereka menjaga keberlangsungan ekosistem alam di dalamnya. Seperti, menjaga sumber-sumber air. Merawat jalan lingkungan, bertani dan bercocok tanam tanpa pestisida dan bahan kimia lainnya. Serta tidak ada tindakan kriminal atau kejahatan. Semuanya atas kesadaran bersama akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan lingkungan.
"Itulah orientasi dari esensi tradisi leluhur dan adat pilemburan," jelas Dedi.
Sementara itu, desa yang telah mempublikasikan tradsisi dan adatnya, yakni Desa Linggamukti, Kecamatan Darangdan. Pekan ini, desa tersebut menggelar hajat lembur. Berbagai produk budaya leluhur, dihadirkan dalam acara tersebut. Salah satunya, pawai hasil bumi yang dihias sedemikian rupa.
Kepala Desa Linggamukti, Kaneng Sunarya Dirja, mengatakan, masyarakat tidak membudayakan adat desa, sama dengan tidak menghargai hasil kreatifitas leluhurnya. Padahal, tradisi ini merupakan warisan dari nenek moyang yang perlu dilestarikan.
"Bangsa lain saja bisa melestarikan tradisinya, masa kita tak bisa mempertahankan budaya warisan nenek moyang," jelasnya.