REPUBLIKA.CO.ID, Maraknya virus flu burung tipe H7N9 yang mewabah di Cina dan Taiwan membuat dunia waspada. WHO mengklaim, jenis virus ini tergolong mematikan karena gejalanya sendiri tidak terlihat seperti H5N1 yang menjadi endemik di Indonesia.
Hingga April 2013, sekitar 24 orang meninggal akibat penyakit tersebut. Padahal, jarak waktu ditemukannya varian ini hanya sekitar dua setengah bulan, sehingga menimbulkan dugaan, H7N9 menular antarmanusia.
Pakar flu burung dari Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nadhum mengatakan, persatuan waktu dan kecepatan penularan virus itu tergolong tinggi. Bila hanya tertular lantaran adanya kontak langsung dengan unggas, menurut dia, proses infeksinya tidak akan secepat itu.
Dibandingkan di Indonesia, selama delapan tahun virus itu menjangkit ke 190 orang dan yang dinyatakan meninggal mencapai 150 hingga 160 penderita.
Bisa dikatakan, tingkat kematian H5N1 sekitar 82 persen. Sedangkan di Cina, H7N9 dalam waktu dua setengah bulan sudah menular ke 110 orang, dan menyebabkan kematian pada 22 penderitanya.
Ia berpendapat langkah bila pemerintah memilih membatasi impor barang dari Cina, maka langkah itu kurang tepat. "Virus H7N9 ini sudah diperkirakan menginfeksi manusia, karena itu arus peregerakan manusia antara dua negara tersebut harus diantisipasi," ujar pria yang pernah terlibat penelitian di Influenza Research Institute, University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat itu.
Solusinya, lanjutnya, memberikan wawasan bagi masyarakat yang ingin pergi ke negara tersebut. Mereka harus mempersiapkan obat-obatan serta vitamin yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
Lalu, harus mereka juga selalu menggunakan masker saat berpergian dan jangan terlalu lelah guna menghindari penurunan imun tubuh.
Kemudian, warga yang datang dari Cina ke Indonesia, harus melalui akses khusus yang sudah difasilitasi penyemprotan vaksin di tempat itu. Indonesia perlu meniru beberapa negara yang telah melakukan pola tersebut seperti Korea.