REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP) berpandangan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Presiden tidak perlu diteruskan. Bagi FPDIP pembahasan revisi UU Pilpres sudah kontraproduktif karena hanya meributkan tentang presidential threshold.
"Pembahasannya tidak produktif," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) FPDIP, Arief Wibowo ketika dihubungi Republika, Selasa (14/5).
Revisi UU Pemilihan Presiden mesti mengarah pada perbaikan sistem bukan perubahan presidential threshold. Menurut Arif, penurunan angka thereshold akan menciptakan keruwetan dalam perimbangan kekuatan di pemerintahan dan legislatif.
"Syarat maju sebagai presiden harus punya dukungan politik yang kuat dari partai di parlemen," ujarnya.
Persoalan pengaturan biaya kampanye dan iklan juga tidak perlu diatur dalam UU Pilpres. Hal ini karena menurut Arief dua persoalan tersebut telah diatur dalam UU tersendiri. Peraturan biaya kampanye misalnya bisa diatura lewat peraturan KPU.
Sedangkan peraturan iklan bisa merujuk pada UU Penyiaran. Tinggal sekarang, Arief mengatakan, Komisi Penyiaran Indonesia melakukan tugasnya secara benar. "Selama ini KPI agak mandul," katanya.
Sebelumnya anggota Baleg Fraksi Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin juga menyatakan revisi UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres tidak perlu dilanjutkan. Bagi Demokrat undang-undang yang berlaku sekarang sudah memadai. "Kami pikir sudah bagus," ujar Didi.
Menyangkut ambang batas presiden (presidential threshold/ PT), Demokrat juga berpendapat tak perlu ada perubahan. Didi menyatakan PT yang tinggi akan menjadi proses seleksi alamiah terhadap para bakal capres-cawapres.
Sisi positifnya, penyelenggaraan pemilu menjadi lebih sederhana lantaran tokoh yang akan dipilih tidak banyak. "Peserta pilpresnya tidak terlalu banyak," kata anggota Komisi III DPR tersebut.
Ia menambahkan, angka PT yang ketat mencerminkan kuatnya dukungan publik terhadap capres dan cawapres yang diusung partai politik. Menurutnya jika pasangan diusung partai bersuara rendah maka legitimasi publik terhadapnya menjadi berkurang. "Suara legislatif suara publik. Suara partai suara rakyat," katanya.