REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kecelakaan kerja yang menelan korban jiwa di kawasan pertambangan Freeport, Papua, patut dijadikan bahan renungan bagi pemerintah dalam menyikapi Perusahaan asing tersebut.
“Karena, ada beberapa fakta menyedihkan dalam kejadian itu,” kata aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Haris Balubun, saat dihubungi, Rabu (15/5). Ia menuturkan, peristiwa longsor yang menewaskan empat orang karyawan Freeport menjadi petunjuk bahwa lingkungan di sekitar lokasi tambang sudah dalam keadaan kritis.
Hal ini sekaligus membuktikan tidak adanya upaya CSR dari perusahaan itu terhadap alam yang dirusak oleh aktivitas pertambangan mereka. Fakta lainnya, kata dia, hampir semua pekerja yang berada di tempat kecelakaan masih berstatus dalam pelatihan. “Ini jelas menyalahi prosedur ketenagakerjaan. Harusnya para pekerja training itu ditempatkan di lokasi yang risiko kecelakaannya lebih rendah,” ujarnya.
Haris juga menyayangkan sikap manajemen Freeport yang menurutnya tidak manusiawi. Mereka, kata dia, ternyata tidak memprioritaskan penyelamatan karyawannya saat longsor itu terjadi. Yang pertama kali dilakukan Freeport justru berkoordinasi dengan Kementerian ESDM di Jakarta, bukan mengambil tindakan langsung dengan menghubungi polisi atau Basarnas setempat.
Ia mengecam sikap dan cara Freeport dalam mengelola kecelakaan kerja ini. Seharusnya, perusahaan tersebut bisa menerapkan standar operasional dan prosedur keselamatan kerja secara profesional dan penuh tanggung jawab. Apalagi, kata dia, Freeport bukan satu atau dua tahun beroperasi di sana, melainkan hampir empat dekade.