REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nahdlatul Ulama (NU) memilih metode rukyat dalam menentukan bulan baru Islam atas dasar penafsiran hadis Rasulullah mengenai rukyat. Nabi bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR Bukhori dan Muslim).
Sekretaris Lajnah Falakiyah NU Nahari Muhlis mengatakan atas dasar itulah, NU memilih untuk melihat hilal (anak bulan) dengan nyata dan bukan dengan angka-angka. Dari hadits tersebut, menurutnya sudah jelas.
"Kami juga melakukan hisab (perhitungan) dulu, lalu kita verifikasi benar tidaknya hitungan itu dengan cara melihat (rukyat). Kalau belum terlihat betul, kami belum menjatuhkan tanggal," ujarnya kepada ROL.
Metode hisab dan rukyat itu merupakan satu rangkaian yang dipakai NU. Ia berpendapat, metode yang digunakan Muhammadiyah berhenti di wujudul hilal. Wujudul hilal adalah posisi bulan berada di atas 0 derajat.
Sedangkan berdasarkan kesepakatan di kawasan Asia, tinggi hilal adalah 2 derajat. Maka, kemungkinan bulan sudah bisa terlihat. Perbedaan kriteria inilah yang menyebabkan perbedaan penentuan awal Ramadhan atau Idul Fitri. Selain bisa dilihat mata, ada kriteria lain, yaitu umur bulan delapan jam dan jarak antara matahari dan bulan sebesar tiga derajat. "Jika angka hilal itu dinaikkan menjadi 2 derajat, mungkin bisa terjadi kompromi," kata Nahari.