REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Ratusan siswa SMP dan SMA Khadijah Surabaya menyambut histeris kedatangan sutradara Rako Prijanto dan para pemeran film "Sang Kiai" Ikranegara, Christine Hakim, dan Agus Kuncoro di sekolah mereka, Sabtu (18/5).
Mereka disambut "drumband" dan lantunan salawat Nabi Muhammad SAW. Aktris Cristine Hakim yang memerankan Nyai Kapu atau Nyai Masruroh (istri Hadratussyaikh KH Hasyim Asy`ari) menerima kalungan bunga. "Kita harus malu dengan Mbah Hasyim (sebutan untuk Hadratussyaikh KH Hasyim Asy`ari), karena apa yang kita lakukan sekarang tidak ada apa-apanya dengan apa yang beliau lakukan," ujar Christine Hakim.
Dia menganggap Mbah Hasyim tidak hanya menderita akibat penjajahan, melainkan juga menderita kelaparan akibat penjajah memblokade jalur distribusi makanan kepada pribumi. "Buktinya, Nyai Kapu pernah menjual kain batik untuk membeli beras," katanya.
Saat memerankan Nyai Kapu dan berkunjung ke Desa Kapurejo di Kediri yang merupakan daerah kelahiran Nyai Kapu, Christine sempat shalat malam agar diberi petunjuk dalam memerankan Nyai Kapu."Allah SWT menerima doa saya dalam shalat malam itu, sehingga saat pengambilan gambar seperti ada tangan Tuhan yang menuntun saya untuk berperan dan seolah-olah saya hidup di zaman itu," ujar aktris ternama itu.
Dia menganggap Mbah Hasyim milik bangsa dan negara, bahkan dunia. "Itu karena kekuatan angkatan perang penjajah yang bersenjata lengkap itu harus tunduk kepada para santri Mbah Hasyim, sehingga para penjajah memperhitungkan beliau," katanya.
Senada dengan dia, Agus Kuncoro yang memerankan KH Wahid Hasyim (ayah Presiden Abdurrahman Wahid) menyatakan mereka yang tidak menonton film "Sang Kiai" akan rugi. "Kalau nonton film ini, kalian akan bangga menjadi warga NU dan bangga menjadi orang Indonesia," kata aktor tampan yang diajak foto bersama oleh para siswi SMP-SMA Khadijah.
Sementara Ikranegara yang memerankan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy`ari berkata, "Meski saya sempat menjadi santri di Jembrana, Bali, saya sempat melakukan riset ke Pesantren Tebuireng, saya merasakan bagaimana hidup di Tebuireng."
Hal itu dilakukannya agar bisa menjiwai film itu. "Secara tak langsung, saya banyak belajar kepada sosok Mbah Hasyim yang menggambarkan pengamalan dari surat `Wal Ashri` tentang pentingnya sabar, teguh, iman, dan peduli kepada masyarakat," katanya.
Sementara sutradara Rako Prijanto menegaskan film "Sang Kiai" membuktikan spiritual dan agamis itu sangat berperan dalam perjuangan menegakkan NKRI. "Mbah Hasyim mengajarkan jihad dalam arti yang benar dan utuh," katanya.
Ia menyelesaikan film ini dalam tiga tahun. "Riset melalui buku saja tidak cukup, kami juga perlu memahami makna sosiologis dari pesantren, karena itu kami mewancarai kalangan pesantren dan hidup di Pesantren Tebuireng," katanya.
Dia juga berupaya menampilkan nuansa romantis dan peran wanita dalam perjuangan melawan penjajah. "Saya menunjukkan bahwa sejarah perjuangan bangsa kita selama ini hanya ditulis dalam versi penguasa, peran kiai tidak ada," katanya.