REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses hukum atas dugaan kasus korupsi yang melibatkan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) menghadirkan polemik. LHI yang ditengarai terlibat dalam kasus korupsi impor sapi disangkakan sejumlah pasal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses peradilannya.
Sejumlah pihak menilai ada perlakuan tak adil yang diterima oleh LHI. Penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang disangkakan kepada LHI dianggap sebagai tindakan diskriminasi.
Pakar Hukum Pidana Muzakir tak menampik adanya perilaku tebang pilih terhadap kasus LHI. "Pandangan saya, iya benar ini perilaku disrkiriminatif. Tapi, itu jika koruptor lain sampai saat ini tidak KPK jerat dengan pasal tersebut sekalipun persidangannya telah usai," katanya ketika dihubungi Republika, Ahad (19/5).
Muzakir menjelaskan poin penting dari cap diskrimatif ini dapat dilihat dari langkah KPK dalam melanjutkan proses hukum kepada koruptor lain seperti Angelina Sondakh. Menurutnya, kasus Angie –sapaan Angelina-, sedikitnya dapat dijadikan role model seperti apa sikap KPK kepada para koruptor lainnya termasuk LHI.
Angie yang tidak dijerat pasal TPPU dalam kasusnya alhasil ‘hanya’ divonis 4,5 tahun dan denda ‘cuma ‘sebesar Rp 250 juta. Dengan vonis yang 'ringan' ini, tentu Angie menurutnya bisa dihukum lebih berat jika dikenakan pasal TPPU untuk kemudian diamini oleh majelis hakim.
Muzakir mengatakan KPK bisa saja melakukan tindakan gegabah bila tidak menelusuri dengan teliti kebenaran dari fakta bahwa harta yang LHI miliki ialah hasil korupsi. Hal tersebut menurutnya dapat menyudutkan KPK di tengah banyaknya kecaman penerapan pasal TPPU kepada LHI.
"Itu sudah menjadi prasyarat bagi KPK untuk terapkan pasal TPPU, kalau tidak yakin dan punya hasil penelitian awal kemana uang LHI mengalir, lebih baik dipikirkan kembali," ujarnya.