REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha belum menemukan kesulitan dalam mengekspor kayu ke pasar Uni Eropa. Ketua Asosiasi Industri Kayu Pertukangan dan Kayu Olahan (ISWA), Soewarni menyatakan anggotanya bisa mengandalkan dokumen Sistem Verifikasi Legatis Kayu (SVLK) untuk kegiatan ekpor. Hal ini sesuai janji negosiator Uni Eropa yang mengakui kualitas SVLK. "Itu yang saya pegang," ujarnya saat dihubungi ROL, Selasa (21/5).
Namun pihaknya tetap menunggu terbitnya Voluntary Partnership Agreement (VPA). Keberadaan dokumen ini diharapkan dapat membuat pelaku usaha kayu olahan kembali bergairah. Sejak tahun 2008, ISWA mengalami penurunan anggota. Tahun lalu, anggota ISWA mencapai 288 perusahaan. Sedangkan tahun ini hanya 236 perusahaan.
Pasar Uni Eropa sangat menarik bagi eksportir olahan kayu karena menawarkan harga yang tinggi dibandingkan negara lain. Untuk produk furniture misalnya, volume ekspor untuk seluruh dunia mencapai 2,28 juta meter kubik setiap tahun dengan harga rata-rata 582 dolar AS per kubik. Sedangkan khusus untuk Uni Eropa, harga rata-rata mencapai 1.264 dolar AS per meter kubik. Perbedaan harga ini karena pasar Uni Eropa meminta olahan kayu yang terbuat dari hutan alam. "Kalau negara lain dari sengon, produksi hutan rakyat," katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi menyarankan agar pengusaha tidak banyak berharap mengenai kelangsungan VPA. Ia melihat penerbitan VPA kental dengan urusan politik. Tanpa VPA sekalipun, eksportir olahan kayu bisa melakukan ekspor dengan berbekal SVLK. Hingga saat ini, pemilik SVLK mengakui belum kesulitan untuk melakukan kegiatan ekspor meski tanpa dokumen VPA.