REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Bondan menganggap, tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat (Kejati Sumbar) menghentikan 22 kasus korupsi tahun ini tak dapat langsung dinilai negatif. Harus diyakini kalau pemberian Surat Penghentian Penyidikan (SP3) pada kasus korupsi sudah dipikirkan secara matang.
"Tidak fair kalau kita menanggapi dengan cara pukul rata," ujar dia kepada Republika Kamis (23/5).
Menurutnya, anggapan miring pada kinerja kejaksaan yang banya memberikan SP3 tentu harus berdasar. Namun, bila persentase perkara korupsi yang disidik ternyata lebih banyak naik ke pengadilan tentu masih bisa dimaklumi.
Selain itu, perlu juga dicermati per kasus. Apakah ada kejanggalan dalam pemberian SP3 tersebut. Sehingga bisa dilihat apakah penghentian puluhan kasus korupsi tersebut layak dilakukan atau tidak. "Bila memang layak di SP3, ya memang mungkin saja harus dihentikan," ujarnya.
Sebelumnya Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumbar Ikwan Ratsudi mengatakan, 22 kasus tersebut merupakan bagian dari 57 kasus yang bersisa dari 2012 sampai 2013. Kasus korupsi sisa 2012 lalu mencapai 52 perkara. Sementara untuk tahun ini ada lima perkara. Sehingga ada 57 perkara korupsi yang menunggak.
Kejati Sumbar masih menangani 28 di antaranya. Sedangkan tujuh perkara sudah naik ke pengadilan. Sebanyak 22 kasus sisanya terpaksa dihentikan karena tidak cukup bukti.